Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak mempercayai
keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme.Dalam
pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada
keberadaan dewa atau Tuhan.
Istilah ateisme berasal dari
Bahasa Yunani ἄθεος (atheos), yang secara peyoratif digunakan untuk
merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan
agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan menyebarnya
pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah
ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya
kepada tuhan. Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul
pada abad ke-18. Pada zaman sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia
mengaku sebagai ateis, manakala 11,9% mengaku sebagai nonteis. Sekitar
65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak
beragama; dan sekitar 48%-nya di Rusia.[7] Persentase komunitas
tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85%
(Swedia).
Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan
fenomena paranormal karena kurangnya bukti empiris. Yang lain
memberikan argumen dengan dasar filosofis, sosial, atau sejarah.
Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan sebagai tak beragama (ireligius).
Beberapa
aliran Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah 'Tuhan' dalam
berbagai upacara ritual, namun dalam Agama Buddha konsep ketuhanan yang
dimaksud mempergunakan istilah Nibbana. Karenanya agama ini sering
disebut agama ateistik. Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya
sebagai ateis cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme,]
rasionalisme, dan naturalisme, tidak ada ideologi atau perilaku spesifik
yang dijunjung oleh semua ateis.
Pelopor Atheis
Penulis Perancis abad ke-18, Baron d'Holbach adalah salah SEOrang
pertama yang menyebut dirinya ateis. Dalam buku The System of Nature
(1770), ia melukiskan jagad raya dalam pengertian materialisme filsafat,
determinisme yang sempit, dan ateisme. Buku ini dan bukunya Common
Sense (1772) dikutuk oleh Parlemen Paris, dan salinan-salinannya dibakar
di depan umum.
Ateisme, agama, dan moralitas
Karena ketiadaan Tuhan pencipta, Agama Buddha umumnya dideskripsikan sebagai nonteis.
Walaupun
orang yang mengaku sebagai ateis biasanya diasumsikan tak beragama,
beberapa sekte agama tertentu pula ada yang menolak keberadaan dewa
pencipta yang personal.
Pada akhir-akhir ini, aliran-aliran
keagamaan tertentu juga telah menarik banyak penganut yang secara
terbuka ateis, seperti misalnya Yahudi ateis atau Yahudi humanis dan
Kristen ateis.
Dikarenakan artian paling kaku ateisme
positif tidak memerlukan kepercayaan spesifik apapun diluar
ketidakpercayaan pada dewa/tuhan, ateis dapat memiliki kepercayaan
spiritual apapun. Untuk alasan yang sama pula, para ateis dapat
berpegang pada berbagai kepercayaan etis, mulai dari universalisme moral
humanisme, yang berpandangan bahwa nilai-nilai moral haruslah
diterapkan secara konsisten kepada seluruh manusia, sampai dengan
nihilisme moral, yang berpendapat bahwa moralitas adalah hal yang tak
berarti.
Walaupun ia merupakan kebenaran filosofis, yang
secara ringkas dipaparkan dalam karya Plato dilema Euthyphro bahwa peran
tuhan dalam menentukan yang benar dari yang salah adalah tidak
diperlukan maupun adalah sewenang-wenang, argumen bahwa moralitas
haruslah diturunkan dari Tuhan dan tidak dapat ada tanpa pencipta yang
bijak telah menjadi isu-isu yang terus menerus muncul dalam debat
politik. Persepsi moral seperti "membunuh adalah salah" dilihat sebagai
hukum Tuhan, yang memerlukan pembuat hukum dan hakim.
Namun,
banyak ateis yang berargumen bahwa memperlakukan moralitas secara
legalistik adalah analogi salah, dan bahwa moralitas tidak seperlunya
memerlukan SEOrang pencipta hukum sama halnya hukum itu sendiri.
Filsuf
Susan Neiman dan Julian Baggini menegaskan bahwa perilaku etis yang
dilakukan hanya karena mandat Yang Di atas bukanlah perlaku etis yang
sebenarnya, melainkan hanyalah kepatuhan buta. Baggini berargumen bahwa
ateisme merupakan dasar etika yang lebih superior, dan mengklaim bahwa
dasar moral di luar perintah agama adalah diperlukan untuk mengevaluasi
moralitas perintah itu sendiri.
Sebagai contoh, perintah "anda
haruslah mencuri" adalah amoral bahkan jika suatu agama
memerintahkannya, sehingga ateis memiliki keuntungan untuk dapat lebih
melakukan evaluasi tersebut daripada umat beragama yang mematuhi
perintah agamanya sendiri.
Filsuf politik kontemporer Britania
Martin Cohen menawarkan contoh historis perintah Alkitab yang
menganjurkan penyiksaan dan perbudakan sebagai bukti bahwa
perintah-perintah religius mengikuti norma-norma sosial dan politik, dan
bukannya norma-norma sosial dan politik yang mengikuti perintah
religius.
Namun ia juga mencatat bahwa kecenderungan yang sama
jugalah terjadi pada filsuf-filsuf yang tidak memihak dan objektif.
Cohen memperluas argumen ini dengan lebih mendetail pada Political
Philosophy from Plato to Mao dalam kasus kitab Al-Qur'an yang ia lihat
telah memiliki peran yang disesalkan dalam memelihara kode-kode sosial
zaman pertengahan di tengah-tengah perubahan masyarakat sekuler.
Walaupun
demikian, para ateis seperti Sam Harris berargumen bahwa kebergantungan
agama Barat pada otoritas Yang Di Atas berkontribusi pada
otoritarianisme dan dogmatisme. Sebenarnya pula, fundamentalisme agama
dan agama ekstrinsik (agama dipeluk karena ia lebih menguntungkan)
berkorelasi dengan otoritarianise, dogmatisme, dan prasangka. Argumen
ini, bersama dengan kejadian-kejadian historis seperti Perang Salib,
Inkuisisi, dan penghukuman tukang sihir, sering digunakan oleh para
ateis yang antiagama untuk membenarkan pandangan mereka.
Penyebaran Atheis
Adalah
sulit untuk menghitung jumlah ateis di dunia. Para responden survei
dapat mendefinisikan "ateisme" secara berbeda-beda ataupun menarik garis
batas yang berbeda antara ateisme, kepercayaan non-religius, dan
kepercayaan religius non-teis dan spiritual.
Selain itu,
masyarakat di beberapa belahan dunia enggan melaporkan dirinya sebagai
ateis untuk menghindari stigma sosial, diskriminasi, dan penganiayaan.
Survei tahun 2005 yang dipublikasi dalam Encyclopædia Britannica
menunjukkan bahwa kelompok non-religius mencapai sekitar 11,9% populasi
dunia, dan ateis sekitar 2,3%.
Jumlah ini tidak termasuk
orang-orang yang memeluk agama ateistik, seperti agama Buddha. Survei
November-Desember 2006 yang dilakukan di Amerika Serikat dan lima negara
Eropa, dan dipublikasi di Financial Times menunjukkan bahwa orang
Amerika (73%) cenderung lebih percaya kepada tuhan/dewa atau makhluk
tertinggi dalam bentuk apapun daripada orang Eropa.
Di antara
orang dewasa Eropa yang disurvei, orang Italia adalah yang paling banyak
percaya (62%) dan orang Perancis adalah yang paling rendah (27%). Di
Perancis, 32% mengaku dirinya sebagai ateis, dan 32% lainnya mengaku
sebagai agnostik. Survei resmi
Uni Eropa memberikan hasil-hasil
berikut: 18% populasi Uni Eropa tidak percaya pada tuhan; 27% yakin
akan keberadaan beberapa "makhluk harus atau roh", manakala 52% percaya
pada tuhan-tuhan tertentu. Proporsi orang yang percaya naik menjadi 65%
pada orang-orang yang putus sekolah pada usia 15; responden survei yang
menganggap dirinya berasal dari latar belakang keluarga yang keras juga
lebih cenderung percaya pada tuhan daripada yang merasa dirinya tumbuh
di lingkungan tanpa aturan yang keras.
Sebuah surat yang
dipublikasi di Nature pada tahun 1998 melaporkan sebuah survei bahwa
kepercayaan pada tuhan personal ataupun kehidupan setelah mati berada
dalam posisi terendah di antara para anggota Akademi Sains Nasional
Amerika Serikat, hanya 7,0% anggota yang percaya pada tuhan personal,
dibandingkan dengan lebih dari 85% masyarakat AS secara umumnya.
Pada
tahun yang sama pula, Frank Sulloway dari Institut Teknologi
Massachusetts dan Michael Shermer dari California State University
melakukan sebuah kajian yang menemukan bahwa pada sampel survei mereka
yang terdiri dari orang dewasa AS yang "dipercayai" (12% Ph.D dan 62%
lulusan perguruan tinggi), 64%-nya percaya pada Tuhan, dan terdapat
sebuah korelasi yang mengindikasikan menurunnya tingkat kepercayaan
seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan.
Korelasi yang
berbanding terbalik antara keimanan dengan kecerdasan juga telah
ditemukan pada 39 kajian yang dilakukan antara tahun 1927 sampai dengan
tahun 2002, menurut sebuah artikel dalam Majalah Mensa. Penemuan ini
secara luas sesuai dengan meta-analisis statistis tahun 1958 yang
dilakukan oleh Profesor Michael Argyle dari Universitas Oxford.
Ia
menganalisa tujuh kajian riset yang telah menginvestigasi korelasi
antara sikap terhadap agama dengan pengukuran kecerdasan pada
pelajar-pelajar sekolah dan perguruan tinggi AS. Walaupun korelasi
negatif ditemukan dengan jelas, analisis ini tidak mengidentifikasi
sebab musababnya, namun menilai bahwa faktor-faktor seperti latar
belakang keluarga yang otoriter dan kelas sosial mungkin memainkan
sebagian peran penting.
Pada sensus pemerintah Australia
pada tahun 2006, pada pertanyaan yang menanyakan Apakah agama anda? Dari
keseluruhan populasi, 18,7% mencentang kotak tak beragama ataupun
menulis sebuah respon yang diklasifikasikan sebagai non-religius
(humanisme, agnostik, ateis). Pertanyaan ini bersifat sukarela dan 11,2%
tidak menjawab pertanyaan ini.[60] Pada sensus Selandia Baru 2006 yang
menanyakan Apakah agama anda?, 34,7% mengindikasikan tidak beragama,
12,2% tidak merespon ataupun keberatan untuk menjawab pertanyaan
tersebut.
Dasar pemikiran Atheis
Batasan
dasar pemikiran ateistik yang paling luas adalah antara ateisme praktis
dengan ateisme teoretis. Bentuk-bentuk ateisme teoretis yang
berbeda-beda berasal dari argumen filosofis dan dasar pemikiran yang
berbeda-beda pula. Sebaliknya, ateisme praktis tidaklah memerlukan
argumen yang spesifik dan dapat meliputi pengabaian dan ketidaktahuan
akan pemikiran tentang tuhan/dewa.
Ateisme praktis:
Dalam
ateisme praktis atau pragmatis, yang juga dikenal sebagai apateisme,
individu hidup tanpa tuhan dan menjelaskan fenomena alam tanpa
menggunakan alasan paranormal. Menurut pandangan ini, keberadaan tuhan
tidaklah disangkal, namun dapat dianggap sebagai tidak penting dan tidak
berguna; tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun
mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk ateisme praktis
dengan implikasinya dalam komunitas ilmiah adalah naturalisme
metodologis, yaitu pengambilan asumsi naturalisme filosofis dalam metode
ilmiah yang tidak diucapkan dengan ataupun tanpa secara penuh menerima
atau mempercayainya."
Ateisme praktis dapat berupa *
Ketiadaan motivasi religius, yakni kepercayaan pada tuhan tidak
memotivasi tindakan moral, religi, ataupun bentuk-bentuk tindakan
lainnya;
* Pengesampingan masalah tuhan dan religi secara aktif dari penelusuran intelek dan tindakan praktis;
* Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permasalahan tuhan dan agama; dan
* Ketidaktahuan akan konsep tuhan dan dewa.
Ateisme teoretis
Ateisme
teoretis secara eksplisit memberikan argumen menentang keberadaan
tuhan, dan secara aktif merespon kepada argumen teistik mengenai
keberadaan tuhan, seperti misalnya argumen dari rancangan dan taruhan
Pascal. Terdapat berbagai alasan-alasan teoretis untuk menolak
keberadaan tuhan, utamanya secara ontologis, gnoseologis, dan
epistemologis. Selain itu terdapat pula alasan psikologis dan
sosiologis.
Argumen
Argumen epistemologis dan ontologis :
Ateisle
epistemologis berargumen bahwa orang tidak dapat mengetahui Tuhan
ataupun menentukan keberadaan Tuhan. Dasar epistemologis ateisme adalah
agnostisisme. Dalam filosofi imanensi, ketuhanan tidak dapat dipisahkan
dari dunia itu sendiri, termasuk pula pikiran seseorang, dan kesadaran
tiap-tiap orang terkunci pada subjek.
Menurut bentuk
agnostisisme ini, keterbatasan pada perspektif ini menghalangi
kesimpulan objektif apapun mengenai kepercayaan pada tuhan dan
keberadaannya. Agnostisisme rasionalistik Kant dan Pencerahan hanya
menerima ilmu yang dideduksi dari rasionalitas manusia.
Bentuk
ateisme ini memiliki posisi bahwa tuhan tidak dapat dilihat sebagai
suatu materi secara prinsipnya, sehingga tidak dapat diketahui apakah ia
ada atau tidak. Skeptisisme, yang didasarkan pada pemikiran Hume,
menegaskan bahwa kepastian akan segala sesuatunya adalah tidak mungkin,
sehingga seseorang tidak akan pernah mengetahui keberadaan tentang
Tuhan. Alokasi agnostisisme terhadap ateisme adalah dipertentangkan; ia
juga dapat dianggap sebagai pandangan dunia dasar yang independen.
Argumen
lainnya yang mendukung ateisme yang dapat diklasifikasikan sebagai
epistemologis ataupun ontologis meliputi positivisme logis dan
ignostisisme, yang menegaskan ketidakberartian ataupun ketidakterpahaman
istilah-istilah dasar seperti "Tuhan" dan pernyataan seperti "Tuhan
adalah mahakuasa." Nonkognitivisme teologis memiliki posisi bahwa
pernyataan "Tuhan ada" bukanlah suatu dalil, namun adalah omong kosong
ataupun secara kognitif tidak berarti.
Argumen metafisika
Ateisme
metafisik didasarkan pada monisme metafisika, yakni pandangan bahwa
realitas adalah homogen dan tidak dapat dibagi. Ateis metafisik absolut
termasuk ke dalam beberapa bentuk fisikalisme, sehingga secara eksplisit
menolak keberadaan makhluk-makhluk halus. Ateis metafisik relatif
menolak secara implisit konsep-konsep ketuhanan tertentu didasarkan pada
ketidakkongruenan antara filosofi dasar mereka dengan sifat-sifat yang
biasanya ditujukan kepada tuhan, misalnya transendensi, sifat-sifat
personal, dan keesaan tuhan. Contoh-contoh ateisme metafisik relatif
meliputi panteisme, panenteisme, dan deisme.
Argumen psikologis, sosiologis, dan ekonomi
Para
filsuf seperti Ludwig Feuerbach dan Sigmund Freud berargumen bahwa
Tuhan dan kepercayaan keagamaan lainnya hanyalah ciptaan manusia, yang
diciptakan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan psikologis dan emosi
manusia.
Hal ini juga merupakan pandangan banyak Buddhis.[43]
Karl Marx dan Friedrich Engels, dipengaruhi oleh karya Feuerbach,
berargumen bahwa kepercayaan pada Tuhan dan agama adalah fungsi sosial,
yang digunakan oleh penguasa untuk menekan kelas pekerja.
Menurut
Mikhail Bakunin, "pemikiran akan Tuhan mengimplikasikan turunnya
derajat akal manusia dan keadilan; ia merupakan negasi kebebasan manusia
yang paling tegas, dan seperlunya akan berakhir pada perbudakan umat
manusia, dalam teori dan prakteknya." Ia membalikkan aforisme Voltaire
yang terkenal yang berbunyi jika "Tuhan tidak ada, maka adalah perlu
untuk menciptakanNya", dengan menulis: "Jika Tuhan benar-benar ada, maka
adalah perlu untuk menghapusnya."
Argumen logis dan berdasarkan bukti
Ateisme
logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan, seperti tuhan
personal dalam kekristenan, dianggap secara logis tidak konsisten. Para
ateis ini memberikan argumen deduktif yang menentang keberadaan Tuhan,
yang menegaskan ketidakcocokan antara sifat-sifat tertentu Tuhan,
misalnya kesempurnaan, status pencipta, kekekalan, kemahakuasaan,
kemahatahuan, kemahabelaskasihan, transendensi, kemahaadilan, dan
kemahapengampunan Tuhan.
Ateis teodisi percaya bahwa
dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat-sifat yang terdapat pada
Tuhan dan dewa-dewi sebagaimana yang diberikan oleh para teolog. Mereka
berargumen bahwa kemahatahuan, kemahakuasaan, dan kemahabelaskasihan
Tuhan tidaklah cocok dengan dunia yang penuh dengan kejahatan dan
penderitaan, dan welas kasih tuhan/dewa adalah tidak dapat dilihat oleh
banyak orang. Argumen yang sama juga diberikan oleh Siddhartha Gautama,
pendiri Agama Buddha.
Argumen antroposentris:
Ateisme
aksiologis atau konstruktif menolak keberadaan tuhan, dan sebaliknya
menerima keberadaan "kemutlakan yang lebih tinggi" seperti kemanusiaan.
Ateisme dalam bentuk ini menganggap kemanusiaan sebagai sumber mutlak
etika dan nilai-nilai, dan mengizinkan individu untuk menyelesaikan
permasalahan moral tanpa bergantung pada Tuhan. Marx, Nietzsche, Freud,
dan Sartre semuanya menggunakan argumen ini untuk menyebarkan
pesar-pesan kebebasan, Übermensch, dan kebahagiaan tanpa kekangan.
Salah
satu kritik yang paling umum terhadap ateisme adalah bahwa menolak
keberadaan Tuhan akan membawa pada relativisme moral, menyebabkan
seseorang tidak bermoral ataupun tidak memiliki dasar etika, atau
membuat hidup tidak berarti dan menyedihkan. Blaise Pascal memaparkan
argumen ini pada tahun 1669
0 komentar:
Post a Comment