FRDSHARE6 By Farid Ardiansyah
Sepiro gedene sengsoro yen tinompo amung dadi cobo.
FRDSHARE6 by Farid Ardiansyah
" Sopa wonge bisa ngolah pikire, Bisa ngolah donyane... Sopa wonge bisa ngolah 'rasa' atine, Bisa ngolah uripe....!!!.
Showing posts with label kerohanian. Show all posts
Showing posts with label kerohanian. Show all posts
Tuesday, May 14, 2013
Sunday, April 21, 2013
Cara menangkal santet dengan ilmu fisika
Santet, teluh, sihir atau apapun namanya adalah energi negatif yang
mampu merusak kehidupan seseorang, berupa terkena penyakit, kehancuran
rumah tangga hingga sampai kematian.
Berbagai penyelidikan pun telah banyak dilakukan ilmuwan terhadap fenomena santet dan sejenisnya. Tentu metode penelitian para ilmuwan agak berbeda dengan agamawan.
Jika para agamawan memakai rujukan dalil-dalil kitab suci (ayat kitabiyah), maka para ilmuwan menggunakan ayat kauniyah (alam semesta) untuk menyelidiki santet ini.
Penyelidikan yang menggunakan ayat kauniyah tentunya harus memiliki metode yang sifatnya ilmiah, mulai dari mencari kasus-kasus santet, tipe-tipe santet, gejala, akibat dan sebagainya.
Lalu kemudian dilakukan berbagai eksperimen untuk penyembuhannya. Salah satu kesimpulan / pendapat yang mengemuka adalah santet itu sebenarnya adalah energi. Kenapa dalam kasus santet bisa masuk paku, kalajengking, penggorengan, dan lainnya, bisa dijelaskan melalui proses materialisasi energi.
Nah, santet dan mahluk halus itu ternyata energi yang bermuatan (-). Bumipun ternyata memiliki muatan (-). Dalam hukum C Coulomb dikatakan bahwa muatan yang senama akan saling tolak menolak dan muatan yang tidak senama justru akan tarik menarik. Rumusnya :
F = K * ((Q1*Q2)/R^2)
F = gaya tarik menarik
K = Konstanta
Q1, Q2 = muatan
R = jarak
Nah karena demit alias mahluk halus dan bumi itu sama-sama bermuatan (-) makanya para demit itu tidaklah menyentuh bumi.
Orang tua jaman dulu juga sering mengingatkan jika bicara dengan orang yang tidak dikenal pada malam hari maka lihatlah apakah kakinya menapak ke bumi atau tidak. Jika tidak, maka ia berarti golongan mahluk halus.
Begitu juga dengan santet yang ternyata bermuatan (-), maka secara fisika bisa ditanggulangi atau ditangkal dengan hukum C Coulomb ini.
Disini kita tidak membahas metode melawan santet dengan zikir karena sudah banyak dibahas tapi kita akan mencoba menawarkan alternatif lainnya yang bisa bersifat “standalone” (untuk non muslim) maupun digabungkan dengan zikir (untuk muslim).
Beberapa Metodenya :
1. Tidurlah di lantai yang langsung menyentuh bumi.
Boleh gunakan alas tidur asal tidak lebih dari 15 Cm. Dengan tidur di lantai maka santet kesulitan masuk karena terhalang muatan (-) dari bumi.
2. Membuat alat elektronik yang mampu memancarkan gelombang bermuatan (-).
Mahluk halus, jin, santet, dll akan menjauh jika terkena getaran alat ini. Tapi kelemahan alat ini tidak mampu mendeteksi mahluk baik dan jahat.
Jadi, alat ini akan “menghajar” mahluk apa saja. Jika ada jin baik dan jin jahat maka keduanya akan “diusir” juga.
3. Menanam pohon atau tanaman yang memiliki muatan (-).
Bagi yang peka spiritual, aura tanaman ini adalah terasa “dingin”. Pohon yang memiliki muatan (-) diantaranya : dadap, pacar air, kelor, bambu kuning dll.
Tanaman sejenis ini paling tidak disukai mahluk halus. Biasanya tanaman bermuatan (-) ini tidaklah mencengkram terlalu kuat di tanah (bumi) dibandingkan dengan tanaman bermuatan (+)
Lain halnya dengan pohon yang memiliki muatan (+) seperti pohon asem, beringin, belimbing, kemuning, alas randu, dll maka phohon sejenis ini tentu akan menarik mahluk halus dan seringkali dijadikan tempat tinggal.
Hal ini dikarenakan ada gaya tarik menarik antara pohon (+) dan mahluk halus (-) sesuai hukum C Coulomb.
Terlepas dari berhasil atau tidaknya cara-cara di atas, semuanya pasti akan kembali bergantung pada Kekuasaan Tuhan Sang Pencipta.
Cara yang paling ampuh untuk menangkal segala hal buruk yang ada di sekeliling kita adalah tetap berserah dan mendekatkan diri kepada-Nya sembari mengharapkan perlindungan-Nya.
Source:http://www.apakabardunia.com/2011/09/cara-menangkal-serangan-santet-menurut.html
Berbagai penyelidikan pun telah banyak dilakukan ilmuwan terhadap fenomena santet dan sejenisnya. Tentu metode penelitian para ilmuwan agak berbeda dengan agamawan.

Jika para agamawan memakai rujukan dalil-dalil kitab suci (ayat kitabiyah), maka para ilmuwan menggunakan ayat kauniyah (alam semesta) untuk menyelidiki santet ini.
Penyelidikan yang menggunakan ayat kauniyah tentunya harus memiliki metode yang sifatnya ilmiah, mulai dari mencari kasus-kasus santet, tipe-tipe santet, gejala, akibat dan sebagainya.
Lalu kemudian dilakukan berbagai eksperimen untuk penyembuhannya. Salah satu kesimpulan / pendapat yang mengemuka adalah santet itu sebenarnya adalah energi. Kenapa dalam kasus santet bisa masuk paku, kalajengking, penggorengan, dan lainnya, bisa dijelaskan melalui proses materialisasi energi.
Nah, santet dan mahluk halus itu ternyata energi yang bermuatan (-). Bumipun ternyata memiliki muatan (-). Dalam hukum C Coulomb dikatakan bahwa muatan yang senama akan saling tolak menolak dan muatan yang tidak senama justru akan tarik menarik. Rumusnya :
F = K * ((Q1*Q2)/R^2)
F = gaya tarik menarik
K = Konstanta
Q1, Q2 = muatan
R = jarak
Nah karena demit alias mahluk halus dan bumi itu sama-sama bermuatan (-) makanya para demit itu tidaklah menyentuh bumi.
Orang tua jaman dulu juga sering mengingatkan jika bicara dengan orang yang tidak dikenal pada malam hari maka lihatlah apakah kakinya menapak ke bumi atau tidak. Jika tidak, maka ia berarti golongan mahluk halus.
Begitu juga dengan santet yang ternyata bermuatan (-), maka secara fisika bisa ditanggulangi atau ditangkal dengan hukum C Coulomb ini.
Disini kita tidak membahas metode melawan santet dengan zikir karena sudah banyak dibahas tapi kita akan mencoba menawarkan alternatif lainnya yang bisa bersifat “standalone” (untuk non muslim) maupun digabungkan dengan zikir (untuk muslim).
Beberapa Metodenya :
1. Tidurlah di lantai yang langsung menyentuh bumi.

Boleh gunakan alas tidur asal tidak lebih dari 15 Cm. Dengan tidur di lantai maka santet kesulitan masuk karena terhalang muatan (-) dari bumi.
2. Membuat alat elektronik yang mampu memancarkan gelombang bermuatan (-).

Mahluk halus, jin, santet, dll akan menjauh jika terkena getaran alat ini. Tapi kelemahan alat ini tidak mampu mendeteksi mahluk baik dan jahat.
Jadi, alat ini akan “menghajar” mahluk apa saja. Jika ada jin baik dan jin jahat maka keduanya akan “diusir” juga.
3. Menanam pohon atau tanaman yang memiliki muatan (-).

Bagi yang peka spiritual, aura tanaman ini adalah terasa “dingin”. Pohon yang memiliki muatan (-) diantaranya : dadap, pacar air, kelor, bambu kuning dll.
Tanaman sejenis ini paling tidak disukai mahluk halus. Biasanya tanaman bermuatan (-) ini tidaklah mencengkram terlalu kuat di tanah (bumi) dibandingkan dengan tanaman bermuatan (+)
Lain halnya dengan pohon yang memiliki muatan (+) seperti pohon asem, beringin, belimbing, kemuning, alas randu, dll maka phohon sejenis ini tentu akan menarik mahluk halus dan seringkali dijadikan tempat tinggal.
Hal ini dikarenakan ada gaya tarik menarik antara pohon (+) dan mahluk halus (-) sesuai hukum C Coulomb.
Terlepas dari berhasil atau tidaknya cara-cara di atas, semuanya pasti akan kembali bergantung pada Kekuasaan Tuhan Sang Pencipta.
Cara yang paling ampuh untuk menangkal segala hal buruk yang ada di sekeliling kita adalah tetap berserah dan mendekatkan diri kepada-Nya sembari mengharapkan perlindungan-Nya.
Source:http://www.apakabardunia.com/2011/09/cara-menangkal-serangan-santet-menurut.html
Saturday, April 13, 2013
Saturday, March 2, 2013
AJARAN METAFISIS FILOSOFIS (HAKEKAT)
Dalam
perspektif filosofis, semua hal yang ada di dunia ini memiliki aspek
fisika (fisik) dan metafisika (metafisik). Demikian pula agama memiliki
dua aspek tersebut. Syariat merupakan bentuk fisik dari agama, sedangkan
bentuk metafisikanya ada dalam hakekat dari syariat agama. Seseorang
hendaknya mengetahui fisik atau syariat yang merupakan tata caranya
merncapai spiritual. Sedangkan metafisik atau hakekat sebagai bentuk
pencapaian spiritualnya. Filsafat bukan mebicarakan fisik dari segala
yang ada, melainkan membicarakan metafisika atau sesuatu yang ada
dibalik keadaan fisik.
Ajaran Siti
Syeh Jenar lebih memberikan tekanan pada filsafat ketuhanan dan filsafat
kebenaran dengan kata lain bukan lagi berhenti pada tataran syariat,
tetapi telah melangkah pada tataran yang lebih tinggi yakni hakekat. Hal
itu berbeda dengan ajaran yang disampaikan para wali, yang lebih
mengedepankan syariat. Meskipun demikian ajaran Syeh Siti jenar yang
mengutamakan filsafat ketuhanan dan kebenaran mengarah kepada ajaran
Islam yang umumnya disebut sebagai ilmu tasawuf. Ajarannya mengutamakan
pentingnya pengolahan kalbu (istilah Gusti MN IV; sembah kalbu/cipta)
dengan implementasi pada ibadah-ibadah bersifat lahiriah.
Syeh Siti
Jenar mengajarkan tentang falsafah kebenaran dan berusaha merumuskannya
ke dalam bentuk kearifan dan kebijaksanaan. Sehingga menciptakan suatu
hukum-hukum dalam bertindak (akhlak). Di situlah muncul kesan
penyimpangan ajaran Syeh Siti Jenar jika dipandang dari perspektif
penganut ajaran yang lebih mengutamakan syariat baku
atau bagi yang memahami Qur’an dan Hadits secara tekstual. Terlepas
dari munculnya kesan di atas, ajaran Syeh memang banyak menyangkut
perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Pandangannya mengandung
nilai metafisik mengenai baik-buruk, dan salah-benar.
PRO-KONTRA AJARAN SYEH SITI JENAR
Sejak itulah
terjadi pro-kontra antara Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang berikut
para muridnya dengan para wali. Kubu para wali bersikukuh menilai ajaran
Syeh Lemah Abang adalah sesat. Sementara masyarakat waktu itu
menganggap ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh Syeh Siti Jenar sebagai
pencapaian spiritual yang tinggi. Apalagi ajarannya tetap berpegang
pada pandangan Islam. Di hadapan para muridnya Syeh Lemah Bang merupakan
seorang sufi, sebagaimana tokoh-tokoh sufi lainnya yang memandang
bentuk kehidupan dunia ini sebagai kebusukan yang memuakkan. Sehingga
seorang sufi menghindari kehidupan duniawi dan memilih kesederhanaan.
Dunia dipandang sebagai kematian, sebab kehidupan yang sesungguhnya
adalah sesudah seseorang menemui ajalnya. Jadi manusia yang hidup di
dunia ibaratnya bangkai-bangkai yang bergentayangan. Pemikiran demikian
sesuai dengan ajaran sufisme yang berkembang di ranah Arab.
Syeh Siti
Jenar dan para muridnya sangat menyadari bahwa ajarannya seolah aneh,
sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Penilaian ini muncul sejak
dahulu hingga saat ini. Kenyataan ini wajar saja karena memang
orang-orang sufi dan penganut ajaran tasawuf di dunia ini jumlahnya
sangat sedikit jika dibandingkan dengan orang yang mengikuti syariat
murni. Sedangkan menurut ahli tasawuf bahwa Islam tidak sebatas syariat,
melainkan ada tingkatan-tingkatan peribadatan yang wajib ditempuh yakni
tarekat, hakekat dan makrifat. Seseorang dapat disebut sebagai Islam
sejati apabila telah mengamalkan tingkatan peribadatan secara utuh.
KRITIK SYEH SITI JENAR;
Tugas Umat (para wali) yang Tidak Tuntas
Menurut
Syeh Jenar, orang Islam kebanyakan yang masih awam ibarat sebagai kulit
kelapa. Ilmunya masih sebatas berada di kulitnya saja. Padahal untuk
mencapai air kelapa, seseorang harus melewati kulit, lalu dagingnya dan
barulah bisa mereguk air kelapanya (makrifat). Perumpamaan Siti Jenar
ini kira-kira dapar dipersonifikasi lebih jelas sebagai berikut;
1. Syariat diumpamakan kulit kelapa,
2. Tarekat diumpamakan tempurungnya,
3. Hekat diumpamakan sebagai hakekatnya,
4. Makrifat diumpamakan sebagai air kelapanya.
Maka sangat
jauh dari tujuan pencapaian spiritual apabila seseorang mandeg pada
tingkatan syariat saja. Sebagaimana ajaran yang lebih utuh seperti
dituturkan oleh KGPAA Mangkunegoro IV dalam ajaran Kejawen tentang tata
cara mencapai spiritual yang dituangkan dalam pengetahuan spiritual
Catur Sembah yakni; sembah raga (syariat), sembah cipta/kalbu (tarekat),
sembah jiwa (hakekat), sembah rasa (makrifat). Beliau menuturkan
apabila seseorang akan meraih pencapaian spiritual, hendaknya menempuh
empat macam “laku” sembahyang atau catur sembah.
Thursday, February 14, 2013
Sebuah renungan tentang aji saka
Karena kehendak Allah jugalah terjadinya manusia, hewan, pepohonan, kutu
walang ataga, yang kesemuanya itu terjadi serta hidup dan dapat dilihat
secara nyata wujudnya (ana rupa-wujude). Atas kehendak Allah tersebut
yang luluh pada diri manusia, menyebabkan manusia memiliki keluhuran,
keimanan, bawa laksana,
welas asih, keadilan, ketulusan, eling lan waspada. Kesemuanya itu memberikan manusia kemuliaan (kamulyan) dan kesejahteraan (karahayon). Rasa tersebut juga menghubungkan kehidupan manusia dengan Allah Sang Maha Pencipta.
welas asih, keadilan, ketulusan, eling lan waspada. Kesemuanya itu memberikan manusia kemuliaan (kamulyan) dan kesejahteraan (karahayon). Rasa tersebut juga menghubungkan kehidupan manusia dengan Allah Sang Maha Pencipta.
Ca-ra-ka sendiri
pengertiannya adalah memuliakan Allah. Sebab tanpa ada bawana seisinya,
apalagi tanpa adanya manusia, tentu tidak akan ada sebutan Asma Allah.
Tanpa adanya caraka, tentu pula Hana-Ne tidak akan disebut Hana.
Sementara makna Da-ta-sa-wa-la dapat dijelaskan maknanya sebagai
berikut. Adanya yang ada (anane dumadi) sumber asalnya adalah Satu,
yaitu Dzat Allah. Dari yang kasar dan halus (agal lan alus), wingit
(penuh misteri) dan gha’ib, pasti pada dirinya melekat setidaknya
secercah Dzat Allah (kadunungan sapletheking Dzat Allah). Artinya,
pancaran kun fayakun itu tidak hanya mencipta bawana seisinya, namun
terus-menerus memancarkan kasih, mencermati dan meliputi terhadap
seluruh kehidupan (ngesihi, nyamadi lan nglimputi sakabehing dumadi).
Allah menciptakan
bawana seisinya, khususnya dalam menciptakan manusia, bukan tanpa
rencana, namun dengan keinginan dan tujuan yang nyata dan pasti. Titah
Allah tidak dapat diingkari dari apa yang sudah ditetapkan menjadi
kodrat (pepesthen). Demikian juga seluruh makhluk hidup di dunia
(saobah-mosiking dumadi) pasti terkena keterbatasan dan pembatasan
(wates lan winates), seperti halnya sakit dan kematian. Namun selain
itu, juga melekat dalam dirinya (kadunungan) kelebihan satu dari yang
lain, saling ketergantungan, lebih melebihi (punjul-pinunjulan) dan
saling hidup-menghidupi (urip-inguripan).
Baik dalam rupa, wujud,
warna dan sosoknya (balegere dumadi), manusia dapat dikatakan sempurna
tiada yang melebihi (kasampurnaning manungsa). Terciptanya manusia yang
ditakdirkan (pinesthi) menjadi Wali Allah, menandakan bahwa hanya sosok
manusia sajalah yang mampu menjadi Warangka Dalem Yang Maha Esa (wakil
Tuhan di dunia). Kelahiran manusia dalam wujud raga-fisik dan bentuk
badan itu merupakan sari-patining bawana. Maka, menjadi keniscayaan jika
manusia mampu menggunakan dayanya guna mengungkap rahasia alam.
Kelahiran hidup
manusia, merupakan wujud dari sukma, yang dalam proses mengada dan
menjadi (being and becoming) terbentuk dari sari-pati terpancarnya Dzat
Allah (dumadi saka sari-pati pletheking Dzat Allah). Oleh sebab itu,
manusia mampu mengkaji dan menelusuri, menggali dan mencari serta
meyakini dan mengimani adanya Allah (nguladi, ngupadi, ngyakini lan
ngimani marang kasunyataning Allah), sebab sukma sejati manusia itu
berasal dari Sana (sabab suksma sajatining manungsa asale saka Kana).
Selanjutnya Pa-dha-ja-ya-nya, maknanya bahwa sawenehing kang dumadi atau
apa pun dan siapa pun tidak akan dapat hidup sendiri, sebab ia akan
senantiasa menjalani hidup dan kehidupan bersama, sebagaimana
keniscayaan
fitrahnya, bahwa: panguripaning dumadi tansah wor-ingaworan -dalam kehidupan manusia selalu saling pengaruh mempengaruhi— selain juga punya ketergantungan satu sama lain. Begitu juga hidup manusia, bahwa perangkat badaning manungsa tidak mungkin secara parsial dapat hidup sendiri-sendiri. Artinya, ana raga tanpa sukma/nyawa tidak mungkin bisa hidup, tetapi ana sukma tanpa raga juga tidak bisa dikatakan hidup, karena tidak bisa bernafas.
fitrahnya, bahwa: panguripaning dumadi tansah wor-ingaworan -dalam kehidupan manusia selalu saling pengaruh mempengaruhi— selain juga punya ketergantungan satu sama lain. Begitu juga hidup manusia, bahwa perangkat badaning manungsa tidak mungkin secara parsial dapat hidup sendiri-sendiri. Artinya, ana raga tanpa sukma/nyawa tidak mungkin bisa hidup, tetapi ana sukma tanpa raga juga tidak bisa dikatakan hidup, karena tidak bisa bernafas.
Jika seluruh anggota
badan makarti semua, baru disebut urip kang sejati. Daya hidup (sang
gesang) akan melekat (built-in) pada setiap diri-pribadi seseorang,
yaitu rupa, wujud berikut segala tingkah-lakunya. Dapat dikatakan daya
hidup akan luluh pada dirinya (sing kadunungan). Semua yang berwujud dan
hidup pasti bakal tarik- enarik, saling bersinergi (daya-dinayan),
sehingga menimbulkan daya-daya, seperti: daya
adem-panas, positif-negatif, luhur-asor, padhang-peteng, dan kesemuanya itu senantiasa berputar silih berganti (cakra manggilingan).
adem-panas, positif-negatif, luhur-asor, padhang-peteng, dan kesemuanya itu senantiasa berputar silih berganti (cakra manggilingan).
Semua inti dari
interaksi tersebut ada pada diri manusia, di mana inti tadi sebenarnya
telah terserap dari badan manusia sendiri. Maka dapat disimpulkan, bahwa
obah-mosiking jagat/alam, juga terjadi pada obah-mosiking manungsa
secara pribadi. Di mana ketika terjadi gonjang-ganjinging jagat/ alam,
kejadian pada manusia juga demikian adanya. Ketika manusia
bertingkah-laku angkara-murka, merusak dan sebagainya, jagat/alam juga
berada dalam ancaman bahaya, misalnya musibah banjir, lahar, tanah
longsor, banyaknya kecelakaan dan sebagainya.
Makanya, manusia harus
selalu ingat akan kewajiban pokoknya, yaitu: Hamemayu-Hayuning Bawana.
Artinya, kanthi adhedhasar sarana sastra jendra hayuningrat pangruwating
diyu sebetulnya manusia dapat nyidhem atau menghindari kerusakan alam
semesta, selain juga bisa nyirep dahuruning praja (memadamkan kerusuhan
negara).
Ikatan manusia dengan Allah Swt., berupa keyakinan dan kepercayaan
yangdiwujudkan dalam panembah lan pangesti seperti ditulis dalam
tuntunan kalam, yang disebut agama, mewajibkan manusia manembah
(sembahyang, samadi) hanya tertuju kepada Yang Satu, yaitu Tuhan Yang
Maha Esa. Ketika manusia manembah melalui sembah rasa, harus dengan
seluruh sukma (roh, moral) kita, bukan badan raga yang penuh dengan
kotoran (nafsu duniawi). Sebetulnya sembah raga itu hanya sarengating
lahir, agar supaya umat manusia taat dan manembah marang Gusti Kang
Murbeng Dumadi.Manusia itu paling dipercaya ngembani asmaning Allah, maka manusia harus menduduki rasa kemanusiaannya. Untuk itu, manusia harus bisa menempatkan diri pada citra keTuhanannya. Allah telah menciptakan apa saja untuk manusia, jagat sak isine, tinggal bagaimana manusia bekti marang Allah Kang Maha Esa. Tergantung manusianya, seberapa besar tanggung jawabnya marang Kang Maha Kuasa, sebab bawana beserta seluruh isinya adalah menjadi tanggung jawab manusia.
Yang terakhir,
Ma-ga-ba-tha-nga dapat dijelaskan maknanya, kurang-lebih sebagai
berikut. Manungsa kang kalenggahan wahyuning Allah, manungsa kang
manekung ing Allah Kang Maha Esa dadi daya cahyaning Allah lan rasaning
Allah luluh pada sukma manusia. Jagat (alam) tergantung pada sejarah
umat manusia yang disebut awal dan akhir, juga menjadikannya jantraning
manungsa. Hakikatnya gelaring alam/jagat itu, juga gelaring manungsa.
Jadi di dunia ini ora bakal ana lelakon, ora ana samubarang kalir, kalau
tidak ada gerak kridhaning manungsa.
Setelah ada manusia,
sakabehing wewadi, sakabehing kang siningit lan sinengker wus kabukak
wadine –semua telah jelas, semua telah menjadi nyata.
Wis ora dadi wadi, amerga wis tinarbuka;
Wis ora ana wingit, amerga wis kawiyak;
Wis ora ana angker, amerga wis kawuryan.
Wis ora ana wingit, amerga wis kawiyak;
Wis ora ana angker, amerga wis kawuryan.
Artinya, kalau semua
sudah kamanungsan/konangan —kalau semua telah menjadi kenyataan— berarti
tugas kewajiban manusia di dunia telah selesai. Sudah sampai pada
perjanjian pribadining manungsa dan sudah titi mangsa harus pulang
marang pangayuning Pangeran. Dari tidak ada menjadi ada (ora ana dadi
ana) menjadi tidak ada lagi (ora ana maneh). Artinya, sakabehing dumadi
yen wis tumekaning wates kodrate, mesti bakal mulih marang mula-mulanira
lan sirna. Awal-akhire, artinya sangkan paraning dumadi wis
khatam/tamat. Kalau umat manusia sudah tidak ada lagi -kang dadi
asmaning Allah-juga tidak akan disebut (kaweca), ana.
Demikianlah, kurang
lebih hasil perenungan saya selama ini dalam menggali makna filosofis
yang terkandung dalam ajaran Aji Saka: “Ha-na-ca-ra-ka”. Betapa pun kita
mengagungkan ke-adiluhung-an karya sastra Jawa, seperti Serat
Wulangreh, Serat Wedhatama, atau pun filsafat Ha-na-ca-ra-ka, apabila
tanpa penghayatan dan meresapi nilai-nilai substansial yang terkandung
di dalamnya serta usaha mengembangkannya, tentulah tidak akan bermakna
bagi kehidupan sastra Jawa masa kini dan masa depan, apalagi terhadap
budaya Indonesia Baru yang harus kita bangun.
Sastra
Jawa mengandung wulang-wuruk kejawen, yang jika dilakukan penelitian
lebih suntuk akan bisa digali ajaran kehidupan yang mampu memberi
pencerahan pikir dan rasa untuk direnungkan di malam hari. Kesemuanya
itu seakan meneguhkan makna peninggalan Aji Saka yang diungkapkan Sri
Susuhunan Paku Buwono IX dalam tembang Kinanthi: “… Nora kurang
wulang-wuruk, tumrape wong tanah Jawi. Laku-lakuning ngagesang, lamun
gelem anglakoni. Tegese aksara Jawa iku guru kang sejati”.Pitutur Jawa (Nasehat orang jawa)
-
Yen kepengin nglungguhi pangkat kang dhuwur luwih prayoga yen dikawiti saka kalungguhane kang endhek dewe. Kawit klawan mengkono ing tembe siro ora disepeleake dening bawahanmu, lan kang utama yaiku sira nuli bisa nglungguhi ing kawicaksanan, adoh saka watak deksura, ananing mung sarwo kebak tepa selira.
-
Aja ndarbeni pepenginan dadi wong kang luwih kang ngandhut idham-idhaman supaya sarembuge diendel wong akeh. Luwih prayoga tansah njaga bae marang rembukira kanthi becik, petitis lan maedahi. Karo maneh tindak-tanduk kang ngresepake, luwih-luwih kang bisa aweh paedah marang wong liya iku ajine ngungkuli sakehing pitutur kang ndakik-ndakik nanging kang durung kebukten ananing panindak. Mula kuwi tansah udinen amrih wetuning rembug tansah keplok lumah kurep karo tindake.
-
Aja gething marang apa kang kok duweni. Aja nyawang remeh marang apa kang kok duweni. Aja wedi yen sing mbok duweni bakal nggawa susahmu. Sing mbok duweni mujudake marganing marang kahanan kang apik.
-
Prawiraning wong prawira iku ora kaya wong kang bisa ngasorake hawa nafsune awit hawa nafsu iku kang dadi sumber sakabehing memala, bisa ngrusak jagad yen kapinujan kesinungan panguwasa sarta bisa nuwuhake kasengsarane urip semangsa kelangan prikamanungsane.
-
Kaprawiran lan kapitayan dhiri mono pancen wigati. Pindhane prajurit kang maju perang iku, senajan senjatane mbrabat lan pepak, yen tanpa nduweni kaprawiran lan kapitayan dhiri genah ora bakal bisa ngempakake gamane kanthi tumama. Semono uga ing setengahe bebrayan. Yen wong ora kadunungan watak prawira lan pitaya marang dhiri pribadi satemah kepinteran kang diduweni ora bakal bisa dipigunakake klawan samesthine. Bisane mung nunak-nunuk ora beda karo tumindake wong calaina kang njaluk dituntun pitulunge liyan.
-
Wong pinter kang ora kekanthenan ing kautaman iku ora beda karo wong wuta nggawa obor ing wayah wengi. Madhangi wong liya nanging dhweke lakune kesasar-sasar. Kapinteran kang mangkene iki kang dicakake ing madyaning bebrayan bakal nuwuhake kapitunan, pikolehe malah mung wujud kasangsaran lan karusakan.
-
Sing nyebabake wong ngrasa tansah ora cukup yaiku amarga dheweke nggunakake pathokan barang-barang lan kahanan iku tansah owah gingsir miturut sebab lan kedadeyan, mula wong bakal ngrasa tansah kurang.
-
Sapa bae kang rumangsa dadi pemimpin, mbudidoyoa amri sakabehing pangucap lan tandang grayangmu tansah bisoa jumbuh nyawiji. Jumbuhing pangucap lan tandang iku perlu, jalaran kedhale lisanmu kang wus kadhung kawetu kudu bisa digugu, kang jangkahmu kang wus kadhung lumaku kudu bisa ditiru. Yen ora mengkono jeneh kaya wong wuta kang nggawa obor.
-
Aja tansah kepengin diemong, nanging kepara bisoa dadi pamong menawa kowe kepingin tansah bisa gawe reseping pasrawungan. Lire kabeh mitaramu gawenen seneng atine, sarana aweh pitulungan lan bantuan sak kuwasamu yen ana sing nandhang reribet.Wondene yen ora kuwagang, aran wis prayoga yen kowe ora gawe seriking liyan.
-
Wong kang tansah nduwe watak njaluk diemong dening kabeh kanca tetepungane iku, adate sak ucap tindake tansah njaluk dibenerake. Yen ana wong liya kang cengkah karo panemune, gedhene ngluputake, mesti disatroni. Wong kang tansah njaluk benere dhewe iku karan durung dewasa, ora beda karo bocah cilik. Aran utama yen sira tansah bisa ngemong sakabehing mitra karuhmu.
-
Panandhang kaya dene kegagalan, bisa dadi anugerah utawa musibah. Yen panandhang ditampa kanggo sawijining kekuatan tanpa rasa gething lan nesu, mula panandhang bisa dadi anugerah kang gedhe.
-
Sakabehing gegayuhan lan pakaryan mesthi bisa kasembadan yen ditangani kanthi anteping tekad. Dene tekad mono ngemu telung perkara, yaiku anteping ati, lan kencenge pikir sing laras karo bobote kekuatan.
-
Aja ngaya lan keladuk anggonmu nenumpuk bandha lan kasugihan. Kawruhana menawa bandha lan kasugihan mono pindhane banyu segara, yen diombe ora njalari mari ngelak. Saya akeh anggone ngombe, kepara saya wuwuh ngelake. Yen diuja terus bakal nekakake bilahi.
-
Yen sira dipasrahi kuwajiban dening wong liya, tindakna kanthi tememen kaya pangarep arep yen kowe masrahi kewajiban marang wong liya. Semono ugo yen sira lumuh dilarani atimu, mesthine kowe dhewe ya kudu lumuh natoni atining liyan. Kabeh iku dhasare ora ana liya ya mung kudu bisa tepa selira.
-
Aja sok nyenyamah luputing liyan, luwih becik tuduhna kaluputane kang malah bisa ngrumaketake rasa paseduluran. Ewa semono aja nganti kowe kesusu mbecikake kaluputane liyan yen awakmu dhewe rumangsa sawijining wong kang wis ngerti marang jejering manungsa, manungsa kang utama.
Tentang Aksara Jawa
A. Pembukaan Huruf Jawa
1. Huruf Ha
Berarti ‘hidup’, atau
huruf berarti juga ada hidup, sebab memang hidup itu ada, karena ada
yang menghidupi atau yang memberi hidup, hidup itu adalah sendirian
dalam arti abadi atau langgeng tidak terkena kematian dalam menghadapi
segala keadaan. Hidup tersebut terdiri atas 4 unsur yaitu:
a. Api
b. Angin
c. Bumi
d. Air
b. Angin
c. Bumi
d. Air
2. Huruf Na
Berari ‘nur’ atau cahaya, yakni cahaya dari Tuhan YME dan terletak pada sifat manusia.
3. Huruf Ca
Berarti ‘cahaya’,
artinya cahaya di sini memang sama dengan cahaya yang telah disebutkan
di atas. Yakni salah satu sifat Tuhan yang ada pada manusia. Kita telah
mengetahui pula akan sifat Tuhan dan sifat-sifat tersebut ada pada yang
dilimpahkan Tuhan kepada manusia karena memang Tuhan pun menghendaki
agar manusia itu mempunyai sifat baik.
4. Huruf Ra
Berarti ‘roh’, yaitu roh Tuhan yang ada pada diri manusia.
5. Huruf Ka
Berarti ‘berkumpul’, yakni berkumpulnya Tuhan YMEyang juga terletak pada sifat manusia.
6. Huruf Da
Berarti ‘zat’, ialah zatnya Tuhan YME yang terletak pada sifat manusia.
7. Huruf Ta
Berarti ‘tes’ atau tetes, yaitu tetes Tuhan YME yang berada pada manusia.
8. Huruf Sa
Berarti ‘satu’. Dalam
hal ini huruf sa tersebut telah nyata menunjukkan bahwa Tuhan YME yaitu
satu, jadi tidak ada yang dapat menyamai Tuhan.
9. Huruf Wa
Berarti ‘wujud’ atau
bentuk, dalam arti ini menyatakan bahwa wujud atau bentuk Tuhan itu ada
dalam manusia yang setelah bertapa kurang lebih 9 bulan dalam gua garba
ibu lalu dilahirkan dalam wujud diri.
10. Huruf La
Berarti ‘langgeng’
atau ‘abadi’, la yang mengandung arti langgeng ini juga nyata
menunjukkan bahwa hanya Tuhan YME sendirian yang langgeng di dunia ini,
berarti abadi pula untuk selama-lamanya.
11. Huruf Pa
Berarti ‘papan’ atau
‘tempat’, yaitu papan Tuhan YME-lah yang memenuhi alam jagad raya ini,
jagad gede juga jagad kecil (manusia).
12. Huruf Dha
Berarti dhawuh, yiatu perintah-perintah Tuhan YME inilah yang terletak dalam diri dan besarnya Adam, manusia yang utama.
13. Huruf Ja
Berarti ‘jasad’ atau ‘badan’. Jasad Tuhan YME itu terletak pada sifat manusia yang utama.
14. Huruf Ya
Berarti ‘dawuh’. Dawuh
di sini mempunyai lain arti dengan dhawuh di atas, karena dawuh berarti
selalu menyaksikan kehendak manusia baik yang berbuat jelek maupun yang
bertindak baik yang selalu menggunakan kata-katanya “Ya”.
15. Huruf Nya
Berarti ‘pasrah’ atau ‘menyerahkan’. Jelasnya Tuhan YME dengan ikhlas menyerahkan semua yang telah tersedia di dunia ini.
16. Huruf Ma
Berarti ‘marga’ atau ‘jalan’. Tuhan YME telah memberikan jalan kepada manusia yang berbuat jelek dan baik.
17. Huruf Ga
Berarti ‘gaib’, gaib dari Tuhan YME inilah yang terletak pada sifat manusia.
18. Huruf Ba
Berarti ‘babar’, yaitu kabarnya manusia dari gaibnya Tuhan YME.
19. Huruf Tha
Berarti ‘thukul’ atau
‘tumbuh’. Tumbuh atau adanya gaib adalah dari kehendak Tuhna YME. Dapat
pula dikatakan gaib adalah jalan jauh tanpa batas, dekat tetapi tidak
dapat disentuh, seperti halnya cahaya terang tetapi tidak dapat diraba
atau pun disentuh, dan harus diakui bahwa besarnya gaib itu adalah
seperti debu atau terpandang. Demikianlah gaibnya Tuhan YME itu (micro
binubut).
20. Huruf Nga
Berarti ‘ngalam’, ‘yang bersinar terang’, atau terang/gaib Tuhan YME yang mengadakan sinar terang.
Demikianlah huruf Jawa
yang 20 itu dan ternyata dapat digunakan sebagai lambang dan dapat
diartikan sesuai dengan sifat Tuhan sendiri, karena memang seperti yang
telah diuraikan sebelumnya bahwa Jawa yang menggunakan huruf Jawa itupun
merupakan sabda dari Tuhan YME.
Huruf atau carakan Jawa yakni ha na ca ra ka dan seterusnya merupakan sabda pangandikanipun) dari Tuhan YME di tanah Jawa.
B. Penyatuan Huruf atau Aksara Jawa 20
1. Huruf Ha + Nga
Hanga berarti angan-angan.
Dimaksudkan dengan angan-angan ini ialah panca indra yaitu lima indra, seperti:
1. Angan-angan yang terletak di ubun-ubun (kepala) yang menyimpan otak untuk memikir akan keseluruhan keadaan.
2. Angan-angan mata yang digunakan untuk melihat segala keadaan.
3. Angan-angan telinga yang dipakai untuk mendengar keseluruhan keadaan.
4. Angan-angan hidung untuk mencium/membau seluruh keadaan.
5. Angan-angan mulut yang digunakan untuk merasakan dan mengunyah makanan.
2. Huruf Na + Ta
Noto, berarti ‘nutuk’.
3. Huruf Ca + Ba
Caba, berarti coblong
(lobang) dan kata tersebut di atas berarti wadah atau tampat yang
dimilki oleh lelaki atau wanita saat menjalin rasa menjadi satu; adanya
perkataan kun berarti pernyataan yang dikeluarkan oleh pria dan wanita
dalam bentuk kata ya dan ayo dan kedua kata tersebut mempunyai persamaan
arti dan kehendak yaitu mau.
4. Huruf Ra + Ga
Raga, berarti ‘badan
awak/diri’. Kata raga atau ragangan merupakan juga kerangka dan kehendak
pria dan wanita ketika menjalin rasa menjadi satu karena bersama-sama
menghendaki untuk menciptakan raga atau diri agar supaya dapat
terlaksana untuk mendapatkan anak.
5. Huruf Ka + Ma
Kama, berarti ‘komo’
atau biji, bibit, benih. Setiap manusia baik laki-laki atau wanita
pastilah mengandung benih untuk kelangsungan hidup; oleh karena itu di
dalam kata raga seperti terurai di atas merupakan kehendak pria dan
wanita untuk menjalin rasa menjadi satu. Karena itulah maka kata raga
telah menunjukkan adanya kedua benih yang akan disatukan dengan melewati
raga, dan dengan penyatuan kama dari kedua belah pihak itu maka
kelangsungan hidup akan dapat tercapai.
6. Huruf Da + Nya
Danya atau donya atau dunia.
Persatuan kedua benih
atau kama tadi mengakibatkan kelahiran, dan kelahiran ini merupakan
calon keturunan di dunia atau (alam) donya; dengan demikian dapat
dipahami kalau atas kehendak Tuhan YME maka diturunkanlah ke alam dunia
ini benih-benih manusia dari Kahyangan dengan melewati penyatuan rasa
kedua jenis manusia.
7. Huruf Ta + Ya
Taya atau toya, yaitu
ari atau banyu. Kelahiran manusia (jabang bayi) diawali dengan keluarnya
air (kawah) pun pula kelahiran bayi tersebut juga dijemput dengan air
(untuk membersihkan, memandikan dsb); karena itulah air tersebut berumur
lebih tua dari dirinya sendiri disebut juga mutmainah atau sukma yang
sedang mengembara dan mempunyai watak suci dan adil.
8. Huruf Sa + Ja
Saja atau siji atau
satu. Pada umumnya kelahiran manusia (bayi) itu hanya satu, andaikata
jadi kelahiran kembar maka itulah kehendak Tuhan YME. Dan kelahiran satu
tersebut menunjukkan adanya kata saja atau siji atau satu.
9. Huruf Wa + Da
Wada atau wadah atau
tempat. Berbicara tentang wadah atau tempat, sudah seharusnya
membicarakan tentang isi pula, karena kedua hal tersebut tidak dapat
dipisah-pisahkan. Dengan demikian timbul pertanyaan mengenai wadah dan
isi, siapakah yang ada terlebih dahulu.
Pada umumnya dikatakan kalau wadah harus diadakan terlebih dahulu, baru kemudian isi, sebenarnya hal ini adalah kurang benar. Yang diciptakan terlebih dahulu adalah isi, dan karena isi tersebut membutuhkan tempat penyimpanan, maka diciptakan pula wadahnya. Jangan sampai menimbulkan kalimat “Wadah mencari isi” akan tetapi haruslah “Isi mencari wadah” karena memang ‘isi’ diciptakan terlebih dahulu.
Pada umumnya dikatakan kalau wadah harus diadakan terlebih dahulu, baru kemudian isi, sebenarnya hal ini adalah kurang benar. Yang diciptakan terlebih dahulu adalah isi, dan karena isi tersebut membutuhkan tempat penyimpanan, maka diciptakan pula wadahnya. Jangan sampai menimbulkan kalimat “Wadah mencari isi” akan tetapi haruslah “Isi mencari wadah” karena memang ‘isi’ diciptakan terlebih dahulu.
Sebagai contoh dapat diambilkan di sini: rumah, sebab rumah merupakan
wadah manusia, dan manusia merupakan isi dari rumah. Jadi jelaslah bahwa
sebenarnya isilah yang mencari wadah.
Sebagai bukti dari uraian di atas, dapatlah dijelaskan bahwa: kematian manusia berarti (raga) ditinggalkan isi (hidup). Bagai pendapat yang mengatakan “wadah terlebih dahulu diciptakan” maka mengenai kematian itu seharusnya wadah mengatakan supaya isi jangan meniggalkan terlebih dahulu sebelum wadah mendahului meninggalkan. Hal ini jelas tidak mungkin terjadi, apalagi kalau kematian itu terjadi dalam umur muda dimana kesenangan dan kepuasan hidup tersebut belum dialaminya.
Sebagai bukti dari uraian di atas, dapatlah dijelaskan bahwa: kematian manusia berarti (raga) ditinggalkan isi (hidup). Bagai pendapat yang mengatakan “wadah terlebih dahulu diciptakan” maka mengenai kematian itu seharusnya wadah mengatakan supaya isi jangan meniggalkan terlebih dahulu sebelum wadah mendahului meninggalkan. Hal ini jelas tidak mungkin terjadi, apalagi kalau kematian itu terjadi dalam umur muda dimana kesenangan dan kepuasan hidup tersebut belum dialaminya.
Demikianlah persoalan wadah ini dengan dunia, karena sebelum dunia ini
diciptakan (sebagai wadah) maka yang telah ada adalah (isinya) Tuhan
YME. Pendapat lain mengatakan kalau sebelum diadakan jalinan rasa maka
keadaan masih kosong (awangawung). Tetapi setelah jalinan rasa
dilaksanakan oleh pria dan wanita maka meneteslah benih dan apabila
benih tadi mendapatkan wadahnya akan terjadi kelahiran. Sebaliknya kalau
wadah tersebut belum ada maka kelahiran pun tidak akan terjadi, yang
bearti masih suwung atau kosong. Meskipun begitu, “hidup’ itu tetap
telah ada demikian pula “isi’, dan dimanakah letak isi tadi ialah pada
ayah dan ibu. Maka selama ayah dan ibu masih ada maka hidup masih dapat
membenihkan biji atau bibit.
10. Huruf La + Pa
Lapa atau mati atau
lampus. Semua keadaan yang hidup selalu dapat bergerak, keadaan hidup
tesebut kalau ditinggal oleh hidup maka disebut dengan mati. Sebenarnya
pemikiran demikian itu tidak benar, akan tetapi kesalahan tadi telah
dibenarkan sehingga menjadi salah kaprah. Sebab yang dikatakan mati tadi
sebenarnya bukanlah kematian sebenarnya, akan tetapi hidup hanyalah
meninggalkannya saja yaitu untuk mengembalikan semua ke asalnya, hidup
kembali kepada yang menciptakan hidup, karena hidup berasal dari suwung
sudah tentu kembali ke suwung atau kosong (awangawung) lagi. Akan tetapi
sebenarnya dapatlah dikatakan bahwa suwung itu tetap ada sedangkan raga
manusia yang berasal pula dari tanah akan kembali ke tanah (kuburan)
pula.
Wallahua’lam
Wednesday, February 13, 2013
Falsafah PSHT
Falsafah PSHT
* Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta
dur Hangkara (Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan,
kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka,
serakah dan tamak
* Urip Iku Urup (Hidup itu Nyala, Hidup
itu hendaknya memberi manfaat nagi orang lain disekitar kita, semakin
besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik, tapi sekecil
apapun manfaat yang dapat kita berikan, jangan sampai kita menjadi
orang yang meresahkan masyarakat
* Sura Dira Jayaningrat, Lebur
Dening Pangastuti (segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya
bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar
* sesungguhnya kehidupan manusia sebagai
mahkluk Tuhan yang terutama, hendak menuju keabadian kembali kepada
causa prima titik tolak segala sesuatu yang ada, melalui tingkat ke
tingkat namun tidak setiap insan menyadari bahwa apa yang dikejar-kejar
itu telah tersimpan menyelinap di lubuk hati nuraninya. SETIA HATI sadar
menyakini akan hakiki hayati itu dan akan mengajak serta para warganya
menyingkap tabir/tirai selubung hati nurani dimana “SANG MUTIARA HIDUP”
bertahta
* Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa
Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha (Berjuang tanpa perlu
membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa
tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; Kaya
tanpa didasari kebendaan)
* Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah
Lamun Kelangan (Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa
diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).
* Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja
Cidra Mundak Cilaka (Jangan merasa paling pandai agar tidak salah
arah;Jjangan suka berbuat curang agar tidak celaka).
* Manusia Dapat Dihancurkan Manusia
Dapat Dimatikan Tetapi Manusia Tidak Dapat Dikalahkan, Selama Manusia
Itu Masih Setia Pada Hatinya Sendiri Atau Ber-SH
Sunday, February 10, 2013
Imu metafisika
METAFISIKA merupakan sesuatu hal yang
tidak bisa dirasakan oleh seluruh panca indra dan tidak bisa dinalar
oleh rasio manusia, karena metafisika merupakan sebuah kekuatan yang
terletak pada kekuatan mental, akal pikiran, hati, jiwa serta semua
fisik tubuh manusia, yang mana jika manusia bisa membangkitkan kinerja
semua unsur tubuh mereka, maka mereka memiliki kekuatan yang sangat
dahsyat.
Metafisika ini bisa disebut juga sebagai
ilmu ghaib, kalau menurut orang yang bergabung dengan olah nafas PSBP ”
Gendhogo Al-Ikhlas” Suci Ing Batin, metafisik lebih akrab di kenal
dengan ilmu tenaga dalam.
Pada hakikatnya ilmu metafisika atau
tenaga dalam mengaktifkan kekuatan atau energi dalam tubuh berupa
pengaturan nafas dan menyelaraskan dengan pikiran atau visualisasi
(konsentrasi).
Sebelum dilakukan penggalian kekuatan,
biasanya si calon murid terlebih dahulu di buka cakra-cakra yang ada di
dalam tubuh, agar lebih mudah dalam mengoptimalkan kekuatan tubuh
(tenaga dalam).
Wednesday, February 6, 2013
Hubungan leluhur
Prakata
Kematian bukanlah the ending atau
“riwayat” yang telah tamat. Kematian merupakan proses manusia lahir
kembali ke dimensi lain yang lebih tinggi derajatnya ketimbang hidup di
dimensi bumi. Bila perbuatannya baik berarti mendapatkan “kehidupan
sejati” yang penuh kemuliaan, sebaliknya
akan mengalami “kehidupan baru” yang penuh kesengsaraan. Jasad sebagai
kulit pembungkus sudah tak terpakai lagi dalam kehidupan yang sejati.
Yang hidup adalah esensinya berupa badan halus esensi cahaya yang
menyelimuti sukma. Bagi orang Jawa yang belum kajawan
khususnya, hubungan dengan leluhur atau orang-orang yang telah
menurunkannya selalu dijaga agar jangan sampai terputus sampai kapanpun.
Bahkan masih bisa terjadi interaksi antara leluhur dengan anak
turunnya. Interaksi tidak dapat dirasakan kecuali oleh orang-orang yang
terbiasa mengolah rahsa sejati. Dalam tradisi Jawa dipahami bahwa di
satu sisi leluhur dapat njangkung dan njampangi
(membimbing dan mengarahkan) anak turunnya agar memperoleh kemuliaan
hidup. Di sisi lain, anak-turunnya melakukan berbagai cara untuk
mewujudkan rasa berbakti sebagai wujud balas budinya kepada orang-orang
yang telah menyebabkan kelahirannya di muka bumi. Sadar atau tidak
warisan para leluhur kita & leluhur nusantara berupa tanah perdikan
(kemerdekaan), ilmu, ketentraman, kebahagiaan bahkan harta benda masih
bisa kita rasakan hingga kini.
Ada Apa di Balik NUSANTARA
Bangsa
Indonesia sungguh berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang ada di muka
bumi. Perbedaan paling mencolok adalah jerih payahnya saat membangun dan
merintis berdirinya bangsa sebesar nusantara ini. Kita semua paham bila
berdirinya bangsa dan negara Indonesia berkat perjuangan heroik para
leluhur kita. Dengan mengorbankan harta-benda, waktu, tenaga, pikiran,
darah, bahkan pengorbanan nyawa. Demi siapakah ? Bukan demi kepentingan
diri mereka sendiri, lebih utama demi kebahagiaan dan kesejahteraan anak
turunnya, para generasi penerus bangsa termasuk kita semua yang sedang
membaca tulisan ini. Penderitaan para leluhur bangsa bukanlah sembarang keprihatinan hidup.
Jika dihitung sejak masa kolonialisme bangsa Baratdi bumi nusantara,
para leluhur perintis bangsa melakukan perjuangan kemerdekaan selama
kurang-lebih dari 350 tahun lamanya. Belum lagi jika dihitung dari era
jatuhannya Kerajaan Majapahit yang begitu menyakitkan hati. Perjuangan
bukan saja menguras tenaga dan harta benda, bahkan telah menggilas
kesempatan hidup, menyirnakan kebahagiaan, memberangus ketentraman lahir
dan batin, hati yang tersakiti, ketertindasan, harga diri yang diinjak
dan terhina. Segala perjuangan, penderitaan dan keprihatinan menjadi hal
yang tak terpisahkan karena, perjuangan dilakukan dalam suasana yang
penuh kekurangan. Kurang sandang pangan, kurang materi, dan kekurangan
dana. Itulah puncak penderitaan hidup yang lengkap mencakup multi
dimensi. Penderitaan berada pada titik nadzir dalam kondisi sedih,
nelangsa, perut lapar, kekurangan senjata, tak cukup beaya namun kaki
harus tetap tegap berdiri melakukan perlawanan mengusir imperialism dan
kolonialism tanpa kenal lelah dan pantang mengeluh. Jika kita resapi,
para leluhur perintis bangsa zaman dahulu telah melakukan beberapa laku prihatin yang teramat berat dan sulit dicari tandingannya sbb ;
1. Tapa Ngrame; ramai dalam berjuang sepi dalam pamrih mengejar kepentingan pribadi.
2. Tapa Brata;
menjalani perjuangan dengan penuh kekurangan materiil. Perjuangan
melawan kolonialism tidak hanya dilakukan dengan berperang melawan
musuh, namun lebih berat melawan nafsu pribadi dan nafsu jasad (biologis
dan psikis).
3. Lara Wirang;
harga diri dipermalukan, dihina, ditindas, diinjak, tak dihormati, dan
nenek moyang bangsa kita pernah diperlakukan sebagai budak di rumahnya
sendiri.
4. Lara Lapa; segala macam penderitaan berat pernah dialami para leluhur perintis bangsa.
5. Tapa Mendhem;
para leluhur banyak yang telah gugur sebelum merdeka, tidak menikmati
buah yang manis atas segala jerih payahnya. Berjuang secara tulus, dan
segala kebaikannya dikubur sendiri dalam-dalam tak pernah diungkit dan
dibangkit-bangkit lagi.
6. Tapa Ngeli;
para leluhur bangsa dalam melakukan perjuangan kepahlawanannya
dilakukan siang malam tak kenal menyerah. Penyerahan diri hanya
dilakukan kepada Hyang Mahawisesa (Tuhan Yang Mahakuasa).
Itulah kelebihan leluhur perintis bumi nusantara, suatu jasa baik yang mustahil kita balas. Kita sebagai generasi penerus bangsa telah berhutang jasa (kepotangan budhi) tak terhingga besarnya kepada para perintis nusantara. Tak ada yang dapat kita lakukan, selain tindakan berikut ini :
- Memelihara dan melestarikan pusaka atau warisan leluhur paling berharga yakni meliputi tanah perdikan (kemerdekaan), hutan, sungai, sawah-ladang, laut, udara, ajaran, sistem sosial, sistem kepercayaan dan religi, budaya, tradisi, kesenian, kesastraan, keberagaman suku dan budaya sebagaimana dalam ajaran Bhinneka Tunggal Ikka. Kita harus menjaganya jangan sampai terjadi kerusakan dan kehancuran karena salah mengelola, keteledoran dan kecerobohan kita. Apalagi kerusakan dengan unsur kesengajaan demi mengejar kepentingan pribadi.
- Melaksanakan semua amanat para leluhur yang terangkum dalam sastra dan kitab-kitab karya tulis pujangga masa lalu. Yang terekam dalam ajaran, kearifan lokal (local wisdom), suri tauladan, nilai budaya, falsafah hidup tersebar dalam berbagai hikayat, cerita rakyat, legenda, hingga sejarah. Nilai kearifan lokal sebagaimana tergelar dalam berbagai sastra adiluhung dalam setiap kebudayaan dan tradisi suku bangsa yang ada di bumi pertiwi. Ajaran dan filsafat hidupnya tidak kalah dengan ajaran-ajaran impor dari bangsa asing. Justru kelebihan kearifan lokal karena sumber nilainya merupakan hasil karya cipta, rasa, dan karsa melalui interaksi dengan karakter alam sekitarnya. Dapat dikatakan kearifan lokal memproyeksikan karakter orisinil suatu masyarakat, sehingga dapat melebur (manjing, ajur, ajer) dengan karakter masyarakatnya pula.
- Mencermati dan menghayati semua peringatan (wewaler) yang diwasiatkan para leluhur, menghindari pantangan- pantangan yang tak boleh dilakukan generasi penerus bangsa. Selanjutnya mentaati dan menghayati himbauan-himbauan dan peringatan dari masa lalu akan berbagai kecenderungan dan segala peristiwa yang kemungkinan dapat terjadi di masa yang akan datang (masa kini). Mematuhi dan mencermati secara seksama akan bermanfaat meningkatkan kewaspadaan dan membangun sikap eling.
- Tidak melakukan tindakan lacur, menjual pulau, menjual murah tambang dan hasil bumi ke negara lain. Sebaliknya harus menjaga dan melestarikan semua harta pusaka warisan leluhur. Jangan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan. Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan, “menggunting dalam lipatan”.
- Merawat dan memelihara situs dan benda-benda bersejarah, tempat yang dipundi-pundi atau pepunden (makam) para leluhur. Kepedulian kita untuk sekedar merawat dan memelihara makam leluhur orang-orang yang telah menurunkan kita dan leluhur perintis bangsa, termasuk dalam mendoakannya agar mendapat tempat kamulyan sejati dan kasampurnan sejati di alam kelanggengan merupakan kebaikan yang akan kembali kepada diri kita sendiri. Tak ada buruknya kita meluhurkan leluhur bangsa asing dengan dalih apapun; agama, ajaran, budaya, ataupun sebagai ikon perjuangan kemanusiaan. Namun demikian hendaknya leluhur sendiri tetap dinomorsatukan dan jangan sampai dilupakan bagaimanapun juga beliau adalah generasi pendahulu yang membuat kita semua ada saat ini. Belum lagi peran dan jasa beliau-beliau memerdekakan bumi pertiwi menjadikan negeri ini menjadi tempat berkembangnya berbagai agama impor yang saat ini eksis. Dalam falsafah hidup Kejawen ditegaskan untuk selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Mengerti asal muasalnya hingga terjadi di saat ini. Dengan kata lain ; kacang hendaknya tidak melupakan kulitnya.
- Hilangkan sikap picik atau dangkal pikir (cethek akal) yang hanya mementingkan kelompok, gender atau jenis kelamin, golongan, suku, budaya, ajaran dan agama sendiri dengan sikap primordial, etnosentris dan rasis. Kita harus mencontoh sikap kesatria para pejuang dan pahlawan bumi pertiwi masa lalu. Kemerdekaan bukanlah milik satu kelompok, suku, ras, bahkan agama sekalipun. Perjuangan dilakukan oleh semua suku dan agama, kaum laki-laki dan perempuan, menjadikan kemerdekaan sebagai anugrah milik bersama seluruh warga negara Indonesia.
Generasi Durhaka
Kesadaran
kita bahwa bangsa ini dulunya adalah bangsa yang besar dalam arti
kejayaannya, kemakmurannya, kesuburan alamnya, kekayaan dan keberagaman
akan seni dan budayanya, ketinggian akan filsafat kehidupannya,
menumbuhkan sikap bangga kita hidup di negeri ini. Namun bila mencermati
dengan seksama apa yang di lakukan para generasi penerus bangsa saat
ini terutama yang sedang memegang tampuk kekuasaan kadang membuat
perasaan kita terpuruk bahkan sampai merasa tidak lagi mencintai negara
Indonesia berikut produk-produknya. Di sisi lain beberapa kelompok
masyarakat seolah-olah menginginkan perubahan mendasar (asas) kenegaraan
dengan memandaang pesimis dasar negara, falsafah dan pandangan hidup
bangsa yang telah ada dan diretas melalui proses yang teramat berat dan
berabad-abad lamanya. Golongan mayoritas terkesan kurang menghargai
golongan minoritas. Keadilan dilihat dari kacamata subyektif, menurut
penafsiran pribadi, sesuai kepentingan kelompok dan golongannya sendiri.
Kepentingan yang kuat meniadakan kepentingan yang lemah. Kepentingan
pribadi atau kelompok diklaim atas nama kepentingan rakyat. Untuk
mencari menangnya sendiri orang sudah berani lancang mengklaim
tindakannya atas dasar dalil agama (kehendak Tuhan). Ayat dan
simbol-simbol agama dimanipulasi untuk mendongkrak dukungan politik.
Watak inilah yang mendominasi potret generasi yang durhaka
pada para leluhur perintis bangsa di samping pula menghianati amanat
penderitaan rakyat. Celakanya banyak pecundang negeri justru mendapat
dukungan mayoritas. Nah, siapa yang sudah keblinger, apakah
pemimpinnya, ataukah rakyatnya, atau mungkin pemikiran saya pribadi ini
yang tak paham realitas obyektif. Kenyataan betapa sulit menilai suatu
ralitas obyektif, apalagi di negeri ini banyak sekali terjadi manipulasi
data-data sejarah dan gemar mempoles kosmetik sebagai pemanis kulit
sebagai penutup kebusukan.
“Dosa” Anak Kepada Ibu (Pertiwi)
Leluhur
bumi nusantara bagaikan seorang ibu yang telah berjasa terlampau besar
kepada anak-anaknya. Sekalipun dikalkulasi secara materi tetap terasa
kita tak akan mampu melunasi “hutang” budi-baik orang tua kita dengan
cara apapun. Orang tua kita telah mengandung, melahirkan, merawat,
membesarkan kita hari demi hari hingga dewasa. Sedangkan kita tak pernah
bisa melakukan hal yang sama kepada orang tua kita. Demikian halnya
dengan para leluhur perintis bangsa. Bahkan kita tak pernah bisa
melakukan sebagaimana para leluhur lakukan untuk kita. Apalagi
beliau-beliau telah lebih dulu pergi meninggalkan kita menghadap Hyang
Widhi (Tuhan YME). Diakui atau tidak, banyak sekali kita berhutang jasa
kepada beliau-beliau para leluhur perintis bangsa. Sebagai
konsekuensinya atas tindakan pengingkaran dan penghianatan kepada
leluhur, sama halnya perilaku durhaka kepada ibu (pertiwi) kita sendiri yang dijamin akan mendatangkan malapetaka atau bebendu dahsyat. Itulah pentingnya kita tetap nguri-uri
atau memelihara dan melestarikan hubungan yang baik kepada leluhur yang
telah menurunkan kita khususnya, dan leluhur perintis bangsa pada
umumnya. Penghianatan generasi penerus terhadap leluhur bangsa, sama
halnya kita menabur perbuatan durhaka yang akan berakibat menuai
malapetaka untuk diri kita sendiri.
Sudah menjadi kodrat alam (baca; kodrat ilahi) sikap generasi penerus bangsa yang telah mendurhakai para leluhur perintis bumi pertiwi dapat mendatangkan azab, malapetaka besar yang menimpa seantero negeri.
Sikap yang “melacurkan” bangsa, menjual aset negara secara ilegal,
merusak lingkungan alam, lingkungan hidup, hutan, sungai, pantai. Tidak
sedikit para penanggungjawab negeri melakukan penyalahgunaan wewenangnya
dengan cara “ing ngarsa mumpung kuasa, ing madya agawe rekasa, tut wuri nyilakani”. Tatkala berkuasa menggunakan aji mumpung, sebagai kelas menengah selalu menyulitkan orang, jika menjadi rakyat gemar mencelakai. Seharusnya ing ngarsa asung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Walaupun tidak semua orang melakukan perbuatan durhaka namun
implikasinya dirasakan oleh semua orang. Sekilas tampak tidak adil,
namun ada satu peringatan penting yang perlu diketahui bahwa, hanya orang-orang yang selalu eling dan waspada yang akan selamat dari malapetaka negeri ini.
Rumus Yang Tergelar
Saya tergerak untuk membuat tulisan ini setelah beberapa kali mendapatkan pertanyaan sbb; apakah kembalinya kejayaan nusantara tergantung dengan peran leluhur ? jawabnya, TIDAK ! melainkan tergantung pada diri kita sendiri sebagai generasi penerus bangsa. Meskipun
demikian bukan berarti menganulir peran leluhur terhadap nasib bangsa
saat ini. Peran leluhur tetap besar hanya saja tidak secara langsung. Keprihatinan luar biasa leluhur nusantara di masa lampau dalam membangun bumi nusantara, telah menghasilkan sebuah “rumus” besar yang boleh dikatakan sebagai hukum atau kodrat alam.
Setelah keprihatinan dan perjuangan usai secara tuntas, “rumus” baru
segera tergelar sedemikian rupa. Rumus berlaku bagi seluruh generasi
penerus bangsa yang hidup sebagai warga negara Indonesia dan siapapun
yang mengais rejeki di tanah perdikan nusantara. Kendatipun demikian
generasi penerus memiliki dua pilihan yakni, apakah akan menjalani roda kehidupan yang sesuai dalam koridor “rumus” besar atau sebaliknya, berada di luar “rumus” tersebut. Kedua pilihan itu masing-masing memiliki konsekuensi logis. Filsafat hidup Kejawen selalu wanti-wanti ; aja duwe watak kere,
“jangan gemar menengadahkan tangan”. Sebisanya jangan sampai berwatak
ingin selalu berharap jasa (budi) baik atau pertolongan dan bantuan dari
orang lain, sebab yang seperti itu abot sanggane,
berat konsekuensi dan tanggungjawab kita di kemudian hari. Bila kita
sampai lupa diri apalagi menyia-nyiakan orang yang pernah memberi jasa
(budi) baik kepada kita, akan menjadikan sukerta dan sengkala. Artinya membuat kita sendiri celaka akibat ulah kita sendiri. Leluhur melanjutkan wanti-wantinya pada generasi penerus, agar supaya ; tansah eling sangkan paraning dumadi.
Mengingat jasa baik orang-orang yang telah menghantarkan kita hingga
meraih kesuksesan pada saat ini. Mengingat dari siapa kita dilahirkan,
bagaimana jalan kisah, siapa saja yang terlibat mendukung, menjadi
perantara, yang memberi nasehat dan saran, hingga kita merasakan
kemerdekaan dan ketenangan lahir batin di saat sekarang. Sementara itu, generasi durhaka adalah generasi yang sudah tidak eling sangkan paraning dumadi.
Tugas dan Tanggungjawab Generasi Bangsa
Sebagai
generasi penerus bangsa yang telah menanggung banyak sekali hutang jasa
dan budi baik para leluhur masa lalu, tak ada pilihan yang lebih tepat
selain harus mengikuti rumus-rumus yang telah tergelar. Sebagaimana
ditegaskan dalam serat Jangka Jaya Baya serta berbagai pralampita, kelak negeri ini akan mengalami masa kejayaan kembali yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, bilamana semua suku bangsa kembali nguri-uri kebudayaan, menghayati nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kearifan lokal (local wisdom),
masing-masing suku kembali melestarikan tradisi peninggalan para
leluhur nusantara. Khususnya bagi orang Jawa yang sudah hilang
kejawaannya (kajawan) dan berlagak sok asing, bersedia kembali menghayati nilai luhur kearifan lokal.
Demikian pula suku Melayu, Dayak, Papua, Minang, Makasar, Sunda,
Betawi, Madura, Tana Toraja, Dayak dst, kembali menghayati tradisi dan
budaya lokal yang kaya akan nilai-nilai luhur. Bagaimanapun kearifan
lokal memiliki kunggulan yakni lebih menyatu dan menjiwai (manjing ajur ajer) serta lebih mengenal secara cermat karakter alam dan masyarakat setempat. Desa mawa cara, negara mawa tata.
Masing-masing wilayah atau daerah memiliki aturan hidup dengan
menyesuaikan situasi dan kondisi alamnya. Tradisi dan budaya setempat
adalah “bahasa” tak tertulis sebagai buah karya karsa, cipta, dan karsa
manusia dalam berinteraksi dengan alam semesta. Orang yang hidup di
wilayah subur makmur akan memiliki karakter yang lembut, santun,
toleran, cinta damai namun agak pemalas. Sebaliknya orang terbiasa hidup
di daerah gersang, sangat panas, sulit pangan, akan memiliki karakter
watak yang keras, temperamental, terbiasa konflik dan tidak mudah
toleran. Indonesia secara keseluruhan dinilai oleh manca sebagai
masyarakat yang berkarakter toleran, penyabar, ramah, bersikap terbuka.
Namun apa jadinya jika serbuan budaya asing bertubi-tubi menyerbu
nusantara dengan penuh keangkuhan (tinggi hati) merasa paling baik dan benar sedunia.
Apalagi budaya yang dikemas dalam moralitas agama, atau sebaliknya
moralitas agama yang mengkristal menjadi kebiasaan dan tradisi. Akibat
terjadinya imperialisme budaya asing, generasi bangsa ini sering keliru
dalam mengenali siapa jati dirinya. Menjadi bangsa yang kehilangan arah,
dengan “falsafah hidup” yang tumpang-tindih dan simpang-siur menjadikan
doktrin agama berbenturan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang lebih
membumi. Ditambah berbagai pelecehan konstitusi oleh
pemegang tampuk kekuasaan semakin membuat keadaan carut-marut dan
membingungkan. Tidak sekedar mengalami kehancuran ekonomi, lebih dari
itu bangsa sedang menuju di ambang kehancuran moral, identitas budaya,
dan spiritual. Kini, saatnya generasi penerus bangsa kembali mencari identitas jati dirinya, sebelum malapetaka datang semakin besar. Mulai sekarang juga, mari kita semua berhenti menjadi generasi durhaka
kepada “orang tua” (leluhur perintis bangsa). Kembali ke pangkuan ibu
pertiwi, niscaya anugrah kemuliaan dan kejayaan bumi nusantara akan
segera datang kembali.
TRAH MAJAPAHIT
Dalam pola hubungan kekerabatan atau silsilah di dalam Kraton di Jawa di kenal istilah trah. Menurut arti harfiahnya trah adalah garis keturunan atau diistilahkan tepas darah dalem atau kusuma trahing narendra, yakni orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan atau keluarga besar secara genealogis dalam hubungan tali darah (tedhaking andana warih). Banyak sekali orang merasa bangga menjadi anggota suatu trah tertentu namun kebingungan saat menceritakan runtutan silsilah atau trah
leluhur yang mana yang menurunkannya. Seyogyanya kita masih bisa
menyebut dari mana asal-usul mata rantai leluhur yang menurunkan agar
supaya dapat memberikan pengabdian kepada leluhur secara tepat. Dengan
demikian rasa memiliki dan menghormati leluhurnya tidak dilakukan dengan
asal-asalan tanpa mengetahui siapa persisnya nenek-moyang yang telah
menurunkan kita, dan kepada leluhur yang mana harus menghaturkan sembah
bakti. Jika kita terputus mengetahui mata rantai tersebut sama halnya
dengan mengakui atau meyakini saja sebagai keturunan Adam, namun alur
mata rantainya tidak mungkin diuraikan lagi. Mengetahui tedhaking andana warih membuat kita lebih tepat munjuk sembah pangabekti atau menghaturkan rasa berbakti dan memuliakan leluhur kita sendiri. Jangan sampai seperti generasi durhaka yakni orang-orang kajawan rib-iriban
yang tidak memahami hakekat, kekenyangan “makan kulit”, menjunjung
setinggi langit leluhur bangsa asing sekalipun harus mengeluarkan beaya
puluhan bahkan ratusan juta rupiah tapi tidak mengerti makna
sesungguhnya. Sungguh ironis, sementara leluhurnya sendiri terlupakan
dan makamnya dibiarkan merana hanya karena takut dituduh musrik atau
khurafat. Cerita ironis dan menyedihkan itu seketika raib tatkala sadar
telah mendapatkan label sebagai “orang suci” dan saleh hanya karena
sudah meluhurkan leluhur bangsa asing. Ya, itulah kebiasaan sebagian
masyarakat yang suka menilai simbol-simbolnya saja, bukan memahami
esensinya. Apakah seperti itu cara kita berterimakasih kepada leluhur
yang menurunkan kita sendiri, dan kepada leluhur perintis bangsa?
Rupanya mata hati telah tertutup rapat, tiada lagi menyadari bahwa
teramat besar jasa para leluhur bangsa kita. Tanpa beliau-beliau
pendahulu kita semua yang telah menumpahkan segala perjuangannya demi
kehidupan dan kemuliaan anak turun yang mengisi generasi penerus bangsa
rasanya kita tak kan pernah hidup saat ini.
Tolok ukur kejayaan nusantara masa lalu adalah kejayaan kerajaan Pajajaran, Sriwijaya dan Majapahit, terutama yang terakhir. Trah
atau garis keturunan kerajaan Majapahit yang masih eksis hingga
sekarang, yakni kerajaan Mataram Panembahan Senopati di Kotagede
Yogyakarta, Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran di kota Solo, generasi
Mangkubumen yakni Kasultanan dan Pakualaman di Yogyakarta. Semuanya
adalah generasi penerus Majapahit terutama raja terakhir Prabu Brawijaya
V. Berikut ini silsilah yang saya ambil secara garis besarnya saja ;
Prabu Brawijaya V mempunyai 3 putra di antaranya adalah :
1. Ratu Pembayun (Lajer Putri)
2. Raden Bondhan Kejawan / Lembupeteng Tarub (Lajer Putra)
3. Raden Patah / Jin Bun / Sultan Buntoro Demak I (Lajer Putra; tetapi ibu kandung dari bangsa asing yakni; Putri Cempo dari Kamboja ; beragama Islam)
Trah Ratu Pembayun menurunkan 2 Putra :
1. Ki Ageng Kebo Kanigoro
2. Ki Ageng Kebo Kenongo/Ki Ageng Pengging
Ki Ageng Kebo Kenongo menurunkan 1 Putra: (Lajer Putri)
1. Mas Karebet / Joko Tingkir / Sultan Hadiwijoyo/ Sultan Pajang I (Lajer Putri)
Sementara itu Raden Patah / Jin Bun / Sultan Buntoro Demak I, menurunkan 2 Putera yakni :
(1) Pangeran Hadipati Pati Unus / Sultan Demak II
(2) Pangeran Hadipati Trenggono / Sultan Demak III
Keduanya penerus Demak – tetapi akhirnya putus alias demak runtuh karena pemimpinnya tidak kuat.
Kerajaan
Demak hanya berlangsung selama 3 periode. Entah ada kaitannya atau
tidak namun kejadiannya sebagaimana dahulu pernah diisaratkan oleh Prabu
Brawijaya V saat menjelang puput yuswa. Prabu Brawijaya V
merasa putranda Raden Patah menjadi anak yang berani melawan orang tua
sendiri, Sang Prabu Brawijaya V (Kertabhumi), apapun alasannya. Maka
Prabu Brawijaya V bersumpah bila pemerintahan Kerajaan Demak hanya akan berlangsung selama 3 dinasti saja
(Raden Patah, Adipati Unus, Sultan Trenggono). Setelah itu kekuasaa
Kerajaan Demak Bintoro akan redup dengan sendirinya. Hal senada
disampaikan pula oleh Nyai Ampel Gading kepada cucunda Raden Patah, setiap anak yang durhaka kepada orang tuanya pasti akan mendapat bebendu dari Hyang Mahawisesa.
Dikatakan oleh Nyai Ampel Gading, bahwa Baginda Brawijaya V telah
memberikan 3 macam anugrah kepada Raden Patah yakni; 1) daerah kekuasaan
yang luas, 2) diberikan Tahta Kerajaan, 3) dan dipersilahkan
menyebarkan agama baru yakni agama sang ibundanya (Putri Cempa) dengan
leluasa. Namun Raden Patah tetap menginginkan tahta Majapahit, sehingga
berani melawan orang tuanya sendiri. Sementara ayahandanya merasa serba
salah, bila dilawan ia juga putera sendiri dan pasti kalah, jika tidak
dilawan akan menghancurkan Majapahit dan membunuh orang-orang yang tidak
mau mengikuti kehendak Raden Patah. Akhirnya Brawijaya V memilih
mengirimkan sekitar 3000 pasukan saja agar tidak mencelakai putranda
Raden Patah. Sementara pemberontakan Raden Patah ke Kerajaan Majapahit
membawa bala tentara sekitar 30 ribu orang, dihadang pasukan Brawijaya V
yang hanya mengirimkan 3000 orang. Akibat jumlah prajurit tidak
seimbang maka terjadi banjir darah dan korban berjatuhan di pihak
Majapahit. Sejak itulah pustaka-pustaka Jawa dibumihanguskan, sementara
itu orang-orang yang membangkang dibunuh dan rumahnya dibakar.
Sebaliknya yang memilih mengikuti kehendak Raden Patah dibebaskan dari
upeti atau pajak. Senada dengan Syeh Siti Jenar yang enggan mendukung
pemberontakan Raden Patah ke Majapahit, adalah Kanjeng Sunan Kalijaga
yang sempat memberikan nasehat kepada Raden Patah, agar tidak melakukan
pemberontakan karena dengan memohon saja kepada ayahandanya untuk
menyerahkan tahta, pasti permintaan Raden Patah akan dikabulkannya.
Hingga akhirnya nasehat tak dihiraukan Raden patah, dan terjadilah
perang besar yang membawa banyak korban. Hal ini sangat disesali oleh
Kanjeng Sunan Kalijaga, hingga akhirnya memutuskan untuk berpakaian
serba berwarna wulung atau hitam sebagai pertanda kesedihan dan
penyesalan atas peristiwa tersebut.
Penerus Majapahit
Lain
halnya nasib Raden Bondan Kejawan yang dahulu sebelum Sri Narpati Prabu
Brawijaya V meninggal ia masih kecil dititipkan kepada putranda Betara
Katong, dikatakan jika Betara katong harus menjaga keselamatan Raden
Bondan Kejawan karena ialah yang akan menjadi penerus kerajaan Majapahit
di kelak kemudian hari. Berikut ini alur silsilah Raden Bondan Kejawan
hingga regenerasinya di masa Kerajaan Mataram.
Raden
Bondhan Kejawan/Lembu Peteng Tarub-Dewi Nawang Sih (Dewi Nawang Sih
adalah seorang putri dari Dewi Nawang Wulan-Jaka Tarub) (Lajer Putra)
menurunkan Putera :
1. Raden Depok / Ki Ageng Getas Pandowo (Lajer Putra)
2. Dewi Nawang Sari (Kelak adl calon ibu Ratu Adil/SP/Herucakra)
Raden Depok / Ki Ageng Getas Pandowo mempunyai 1 Putera:
Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo (Lajer Putra)
Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo mempunyai 1 Putera bernama:
Ki Ageng Anis (Ngenis) (Lajer Putra)
Ki Ageng Anis (Ngenis) mempunyai 2 Putera :
1. Ki Ageng Pemanahan / Ki Ageng Mataram
2. Ki Ageng Karotangan / Pagergunung I
tp://sabdalangit.wordpress.com
Ki Ageng Pemanahan / Mataram mempunyai 1 Putera:
Raden Danang Sutowijoyo / Panembahan Senopati/ Sultan Mataram I
Panembahan
Senopati akhirnya menjadi generasi Mataram Islam (kasultanan) pertama
yang meneruskan kekuasaan Majapahit hingga kini. Pada masa itu
spiritualitas diwarnai nilai sinkretisme antara filsafat hidup Kejawen,
Hindu, Budha dan nilai-nilai Islam hakekat sebagaimana terkandung dalam
ajaran Syeh Siti Jenar, terutama mazabnya Ibnu Al Hallaj. Pada saat itu,
hubungan kedua jalur spiritual masih terasa begitu romantis saling
melengkapi dan belum diwarnai intrik-intrik politik yang membuyarkan
sebagaimana terjadi sekarang ini.
Begitulah
silsilah lajer putra dari Brawijaya V. Menurut tradisi Jawa wahyu
keprabon akan turun kepada anak laki-laki atau lajer putra. Sedangkan
Raden patah walaupun lajer putra tetapi dari Putri bangsa asing. Dan
Raden Patah dianggap anak durhaka oleh ayahandanya Prabu Brawijaya
Kertabhumi dan neneknya Nyai Ampel Gading. Namun demikian, bagi
penasehat spiritualnya yakni Ki Sabdapalon dan Nayagenggong yang begitu
legendaris kisahnya, pun Prabu Brawijaya walaupun secara terpaksa atau
tidak sengaja telah menghianati para pendahulunya pula.
Dari
pemaparan kisah di atas ada suatu pelajaran berharga untuk generasi
penerus agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Artinya jangan sampai
kita berani melawan orang tua, apalgi sampai terjadi pertumpahan darah.
Karena dapat tergelincir pada perberbuatan durhaka kepada orang tua kita
terutama pada seorang ibu, yakni ibu pertiwi. Dengan kata lain durhaka
kepada para leluhur yang telah merintis bangsa dengan susah payah.
Karena Tuhan pasti akan memberikan hukuman yang setimpal, dan siapapun
tak ada yang bisa luput dari bebendu Tuhan.
Pralampita Leluhur Bangsa
Saya
ingin mengambil beberapa bait dari serat Darmagandul yang unik dan
menarik untuk dianalisa, sekalipun kontroversial namun paling tidak ada
beberapa nasehat dan warning yang mungkin dapat menjadi pepeling
bagi kita semua, khususnya bagi yang percaya. Bagi yang tidak
mempercayai, hal itu tidak menjadi masalah karena masing-masing memiliki
hak untuk menentukan sikap dan mencari jalan hidup secara cermat, tepat
dan sesuai dengan pribadi masing-masing.
Paduka yêktos, manawi sampun santun gami selam,
nilar gamabudi, turun paduka tamtu apês,
Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa sanes.
Benjing tamtu dipun prentah dening tiyang Jawi ingkang mangrêti.
Paduka pahami, bila sudah memeluk gama selam, meninggalkan gamabudi,
Keturunan Paduka pasti mendapatkan sial, Jawa tinggal seolah-olah jawa,
nilai ke-Jawa-annya telah hilang, gemar nebeng bangsa lain
Besok tentu diperintah oleh orang Jawa yang memahami (Kejawa-an)
Cobi paduka-yêktosi, benjing: sasi murub botên tanggal,
wiji bungkêr botên thukul, dipun tampik dening Dewa,
tinanêma thukul mriyi, namung kangge têdha pêksi,
mriyi punika pantun kados kêtos,
amargi Paduka ingkang lêpat, rêmên nêmbah sela
Cobalah Paduka pahami, besok; sasi murub boten tanggal
Biji-bijian tidak tumbuh, ditolak oleh Tuhan
Walaupun ditanam yang tumbuh berupa padi jelek
Hanya jadi makanan burung
Karena Paduka lah yang bersalah, suka menyembah batu
Paduka-yêktosi, benjing tanah Jawa ewah hawanipun,
wêwah bênter awis jawah, suda asilipun siti,
kathah tiyang rêmên dora,
kêndêl tindak nistha tuwin rêmên supata,
jawah salah mangsa, damêl bingungipun kanca tani.
Paduka pahami, kelak tanah Jawa berubah hawanya,
Berubah menjadi panas dan jarang hujan, berkurang hasil bumi
Banyak orang suka berbuat angkara
Berani berbuat nista dan gemar bertengkar,
Hujan salah musim, membuat bingung para petani
Wiwit dintên punika jawahipun sampun suda,
amargi kukuminipun manusa anggenipun sami gantos agami.
Benjing yen sampun mrêtobat, sami engêt dhatêng gamabudi malih,
lan sami purun nêdha woh kawruh, Dewa lajêng paring pangapura,
sagêd wangsul kados jaman Budhi jawahipun”.
Mulai hari ini hujan sudah mulai berkurang,
Sebagai hukumannya manusia karena telah berganti agama
Besok bila sudah bertobat, orang-orang baru ingat kepada gamabudi lagi
Dan bersedia makan buahnya ilmu, maka Tuhan akan memberi ampunan
Kesuburan tanah dapat kembali seperti zaman gamabudi
Memahami Leluhur dan Kemusyrikan
Belajar
dari pengalaman pribadi dan sebagaimana terdapat dalam tradisi Jawa,
saya pribadi percaya bahwa leluhur masih dapat memberikan bimbingan dan
arahan (njangkung dan njampangi) memberikan doa dan
restu kepada anak turunnya. Komunikasi dapat berlangsung melalui
berbagai media, ambil contoh misalnya melalui mimpi (puspa tajem), melalui keketeg ing angga,
suara hati nurani, bisikan gaib, atau dapat berkomunikasi langsung
dengan para leluhur. Barangkali di antara pembaca ada yang menganggap
hal ini sebagai bualan kosong saja, bahkan menganggap bisikan gaib
dipastikan dari suara setan yang akan menggoda iman. Boleh dan sah-sah
saja ada pendapat seperti itu. Hanya saja tidak perlu ngotot mempertahankan tingkat pemahaman sendiri. Sebab jika belum pernah menyaksikan sendiri noumena atau eksistensi di alam gaib sebagai being yang
ada, kesadaran kita masih dikuasai oleh kesadaran akal-budi,
kesadarannya hanyalah dalam batas kesadaran jasad/lahiriah semata.
Sebaliknya kesadaran batinnya justru menjadi mampet tak bisa berkembang.
Padahal untuk memahami tentang kesejatian hidup diperlukan sarana
kesadaran batiniah atau rohani.
Bagi
pemahaman saya pribadi, adalah sangat tidak relevan suatu anggapan
bahwa interaksi dengan leluhur itu dianggap musyrik. Apalagi dianggap non-sense,
bagi saya anggapan itu merupakan kemunduran dalam kesadaran batin
sekalipun jika di banding zaman animisme dan dinamisme. Menurut
pemahaman saya musyrik adalah persoalan dalam hati dan cara berfikir,
bukan dalam manifestasi tindakan. Saya tetap percaya bahwa tanpa adanya
kuasa dan kehendak Tuhan apalah artinya leluhur. Leluhur sekedar sebagai
perantara. Seperti halnya anda mendapatkan rejeki melalui perantara
perusahaan tempat anda bekerja. Jika Anda menuhankan perusahaan tempat
anda bekerja sama halnya berfikir musrik. Dan orang dungu sekalipun tak
akan pernah menuhankan leluhur karena leluhur itu roh (manusia) yang
jasadnya telah lebur kembali menjadi tanah. Hubungan dengan leluhur
seperti halnya hubungan dengan orang tua, saudara, tetangga, atau
kakek-nenek yang masih hidup yang sering kita mintai tolong.
Perbedaannya hanyalah sekedar yang satu masih memiliki jasad kotor,
sedangkan leluhur sudah meninggalkan jasad kotornya. Bila kita mohon doa
restu pada orang hidup yang masih dibungkus jasad kotor mengapa tak
dituduh musrik, sedangkan kepada leluhur dianggap musrik. Padahal untuk
menjadi musrik itu pun sangat mudah, anda tinggal berfikir saja jika
seorang dokter dengan resep obat yang anda minum adalah mutlak menjadi
penyembuh penyakit di luar kuasa Tuhan. Atau anda meminta tolong kepada
tetangga untuk mbetulin genting bocor, dan orang itu dapat
bekerja sendiri tanpa kuasa Tuhan. Saya fikir konsep musyrik adalah cara
berfikir orang-orang yang hidup di zaman jahiliah saja. Atau mungkin
manusia purba jutaan tahun lalu. Namun apapun alasannya tuduhan musrik
menurut saya, merupakan tindakan penjahiliahan manusia.
Kendatipun
demikian, jika tidak ada jalinan komunikasi dengan leluhur, para
leluhur tak akan mencampuri urusan duniawi anak turunnya. Oleh sebab itu
dalam tradisi Jawa begitu kental upaya-upaya menjalin hubungan dengan
para leluhurnya sendiri. Misalnya dilakukan ziarah, nyekar, mendoakan,
merawat makam, selamatan, kenduri, melestarikan warisan, dan menghayati
segenap ajaran-ajarannya yang mengandung nilai luhur filsafat kehidupan.
Sumber: sabdalangit