Prakata
Kematian bukanlah the ending atau
“riwayat” yang telah tamat. Kematian merupakan proses manusia lahir
kembali ke dimensi lain yang lebih tinggi derajatnya ketimbang hidup di
dimensi bumi. Bila perbuatannya baik berarti mendapatkan “kehidupan
sejati” yang penuh kemuliaan, sebaliknya
akan mengalami “kehidupan baru” yang penuh kesengsaraan. Jasad sebagai
kulit pembungkus sudah tak terpakai lagi dalam kehidupan yang sejati.
Yang hidup adalah esensinya berupa badan halus esensi cahaya yang
menyelimuti sukma. Bagi orang Jawa yang belum kajawan
khususnya, hubungan dengan leluhur atau orang-orang yang telah
menurunkannya selalu dijaga agar jangan sampai terputus sampai kapanpun.
Bahkan masih bisa terjadi interaksi antara leluhur dengan anak
turunnya. Interaksi tidak dapat dirasakan kecuali oleh orang-orang yang
terbiasa mengolah rahsa sejati. Dalam tradisi Jawa dipahami bahwa di
satu sisi leluhur dapat njangkung dan njampangi
(membimbing dan mengarahkan) anak turunnya agar memperoleh kemuliaan
hidup. Di sisi lain, anak-turunnya melakukan berbagai cara untuk
mewujudkan rasa berbakti sebagai wujud balas budinya kepada orang-orang
yang telah menyebabkan kelahirannya di muka bumi. Sadar atau tidak
warisan para leluhur kita & leluhur nusantara berupa tanah perdikan
(kemerdekaan), ilmu, ketentraman, kebahagiaan bahkan harta benda masih
bisa kita rasakan hingga kini.
Ada Apa di Balik NUSANTARA
Bangsa
Indonesia sungguh berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang ada di muka
bumi. Perbedaan paling mencolok adalah jerih payahnya saat membangun dan
merintis berdirinya bangsa sebesar nusantara ini. Kita semua paham bila
berdirinya bangsa dan negara Indonesia berkat perjuangan heroik para
leluhur kita. Dengan mengorbankan harta-benda, waktu, tenaga, pikiran,
darah, bahkan pengorbanan nyawa. Demi siapakah ? Bukan demi kepentingan
diri mereka sendiri, lebih utama demi kebahagiaan dan kesejahteraan anak
turunnya, para generasi penerus bangsa termasuk kita semua yang sedang
membaca tulisan ini. Penderitaan para leluhur bangsa bukanlah sembarang keprihatinan hidup.
Jika dihitung sejak masa kolonialisme bangsa Baratdi bumi nusantara,
para leluhur perintis bangsa melakukan perjuangan kemerdekaan selama
kurang-lebih dari 350 tahun lamanya. Belum lagi jika dihitung dari era
jatuhannya Kerajaan Majapahit yang begitu menyakitkan hati. Perjuangan
bukan saja menguras tenaga dan harta benda, bahkan telah menggilas
kesempatan hidup, menyirnakan kebahagiaan, memberangus ketentraman lahir
dan batin, hati yang tersakiti, ketertindasan, harga diri yang diinjak
dan terhina. Segala perjuangan, penderitaan dan keprihatinan menjadi hal
yang tak terpisahkan karena, perjuangan dilakukan dalam suasana yang
penuh kekurangan. Kurang sandang pangan, kurang materi, dan kekurangan
dana. Itulah puncak penderitaan hidup yang lengkap mencakup multi
dimensi. Penderitaan berada pada titik nadzir dalam kondisi sedih,
nelangsa, perut lapar, kekurangan senjata, tak cukup beaya namun kaki
harus tetap tegap berdiri melakukan perlawanan mengusir imperialism dan
kolonialism tanpa kenal lelah dan pantang mengeluh. Jika kita resapi,
para leluhur perintis bangsa zaman dahulu telah melakukan beberapa laku prihatin yang teramat berat dan sulit dicari tandingannya sbb ;
1. Tapa Ngrame; ramai dalam berjuang sepi dalam pamrih mengejar kepentingan pribadi.
2. Tapa Brata;
menjalani perjuangan dengan penuh kekurangan materiil. Perjuangan
melawan kolonialism tidak hanya dilakukan dengan berperang melawan
musuh, namun lebih berat melawan nafsu pribadi dan nafsu jasad (biologis
dan psikis).
3. Lara Wirang;
harga diri dipermalukan, dihina, ditindas, diinjak, tak dihormati, dan
nenek moyang bangsa kita pernah diperlakukan sebagai budak di rumahnya
sendiri.
4. Lara Lapa; segala macam penderitaan berat pernah dialami para leluhur perintis bangsa.
5. Tapa Mendhem;
para leluhur banyak yang telah gugur sebelum merdeka, tidak menikmati
buah yang manis atas segala jerih payahnya. Berjuang secara tulus, dan
segala kebaikannya dikubur sendiri dalam-dalam tak pernah diungkit dan
dibangkit-bangkit lagi.
6. Tapa Ngeli;
para leluhur bangsa dalam melakukan perjuangan kepahlawanannya
dilakukan siang malam tak kenal menyerah. Penyerahan diri hanya
dilakukan kepada Hyang Mahawisesa (Tuhan Yang Mahakuasa).
Itulah kelebihan leluhur perintis bumi nusantara, suatu jasa baik yang mustahil kita balas. Kita sebagai generasi penerus bangsa telah berhutang jasa (kepotangan budhi) tak terhingga besarnya kepada para perintis nusantara. Tak ada yang dapat kita lakukan, selain tindakan berikut ini :
- Memelihara dan melestarikan pusaka atau warisan leluhur paling berharga yakni meliputi tanah perdikan (kemerdekaan), hutan, sungai, sawah-ladang, laut, udara, ajaran, sistem sosial, sistem kepercayaan dan religi, budaya, tradisi, kesenian, kesastraan, keberagaman suku dan budaya sebagaimana dalam ajaran Bhinneka Tunggal Ikka. Kita harus menjaganya jangan sampai terjadi kerusakan dan kehancuran karena salah mengelola, keteledoran dan kecerobohan kita. Apalagi kerusakan dengan unsur kesengajaan demi mengejar kepentingan pribadi.
- Melaksanakan semua amanat para leluhur yang terangkum dalam sastra dan kitab-kitab karya tulis pujangga masa lalu. Yang terekam dalam ajaran, kearifan lokal (local wisdom), suri tauladan, nilai budaya, falsafah hidup tersebar dalam berbagai hikayat, cerita rakyat, legenda, hingga sejarah. Nilai kearifan lokal sebagaimana tergelar dalam berbagai sastra adiluhung dalam setiap kebudayaan dan tradisi suku bangsa yang ada di bumi pertiwi. Ajaran dan filsafat hidupnya tidak kalah dengan ajaran-ajaran impor dari bangsa asing. Justru kelebihan kearifan lokal karena sumber nilainya merupakan hasil karya cipta, rasa, dan karsa melalui interaksi dengan karakter alam sekitarnya. Dapat dikatakan kearifan lokal memproyeksikan karakter orisinil suatu masyarakat, sehingga dapat melebur (manjing, ajur, ajer) dengan karakter masyarakatnya pula.
- Mencermati dan menghayati semua peringatan (wewaler) yang diwasiatkan para leluhur, menghindari pantangan- pantangan yang tak boleh dilakukan generasi penerus bangsa. Selanjutnya mentaati dan menghayati himbauan-himbauan dan peringatan dari masa lalu akan berbagai kecenderungan dan segala peristiwa yang kemungkinan dapat terjadi di masa yang akan datang (masa kini). Mematuhi dan mencermati secara seksama akan bermanfaat meningkatkan kewaspadaan dan membangun sikap eling.
- Tidak melakukan tindakan lacur, menjual pulau, menjual murah tambang dan hasil bumi ke negara lain. Sebaliknya harus menjaga dan melestarikan semua harta pusaka warisan leluhur. Jangan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan. Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan, “menggunting dalam lipatan”.
- Merawat dan memelihara situs dan benda-benda bersejarah, tempat yang dipundi-pundi atau pepunden (makam) para leluhur. Kepedulian kita untuk sekedar merawat dan memelihara makam leluhur orang-orang yang telah menurunkan kita dan leluhur perintis bangsa, termasuk dalam mendoakannya agar mendapat tempat kamulyan sejati dan kasampurnan sejati di alam kelanggengan merupakan kebaikan yang akan kembali kepada diri kita sendiri. Tak ada buruknya kita meluhurkan leluhur bangsa asing dengan dalih apapun; agama, ajaran, budaya, ataupun sebagai ikon perjuangan kemanusiaan. Namun demikian hendaknya leluhur sendiri tetap dinomorsatukan dan jangan sampai dilupakan bagaimanapun juga beliau adalah generasi pendahulu yang membuat kita semua ada saat ini. Belum lagi peran dan jasa beliau-beliau memerdekakan bumi pertiwi menjadikan negeri ini menjadi tempat berkembangnya berbagai agama impor yang saat ini eksis. Dalam falsafah hidup Kejawen ditegaskan untuk selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Mengerti asal muasalnya hingga terjadi di saat ini. Dengan kata lain ; kacang hendaknya tidak melupakan kulitnya.
- Hilangkan sikap picik atau dangkal pikir (cethek akal) yang hanya mementingkan kelompok, gender atau jenis kelamin, golongan, suku, budaya, ajaran dan agama sendiri dengan sikap primordial, etnosentris dan rasis. Kita harus mencontoh sikap kesatria para pejuang dan pahlawan bumi pertiwi masa lalu. Kemerdekaan bukanlah milik satu kelompok, suku, ras, bahkan agama sekalipun. Perjuangan dilakukan oleh semua suku dan agama, kaum laki-laki dan perempuan, menjadikan kemerdekaan sebagai anugrah milik bersama seluruh warga negara Indonesia.
Generasi Durhaka
Kesadaran
kita bahwa bangsa ini dulunya adalah bangsa yang besar dalam arti
kejayaannya, kemakmurannya, kesuburan alamnya, kekayaan dan keberagaman
akan seni dan budayanya, ketinggian akan filsafat kehidupannya,
menumbuhkan sikap bangga kita hidup di negeri ini. Namun bila mencermati
dengan seksama apa yang di lakukan para generasi penerus bangsa saat
ini terutama yang sedang memegang tampuk kekuasaan kadang membuat
perasaan kita terpuruk bahkan sampai merasa tidak lagi mencintai negara
Indonesia berikut produk-produknya. Di sisi lain beberapa kelompok
masyarakat seolah-olah menginginkan perubahan mendasar (asas) kenegaraan
dengan memandaang pesimis dasar negara, falsafah dan pandangan hidup
bangsa yang telah ada dan diretas melalui proses yang teramat berat dan
berabad-abad lamanya. Golongan mayoritas terkesan kurang menghargai
golongan minoritas. Keadilan dilihat dari kacamata subyektif, menurut
penafsiran pribadi, sesuai kepentingan kelompok dan golongannya sendiri.
Kepentingan yang kuat meniadakan kepentingan yang lemah. Kepentingan
pribadi atau kelompok diklaim atas nama kepentingan rakyat. Untuk
mencari menangnya sendiri orang sudah berani lancang mengklaim
tindakannya atas dasar dalil agama (kehendak Tuhan). Ayat dan
simbol-simbol agama dimanipulasi untuk mendongkrak dukungan politik.
Watak inilah yang mendominasi potret generasi yang durhaka
pada para leluhur perintis bangsa di samping pula menghianati amanat
penderitaan rakyat. Celakanya banyak pecundang negeri justru mendapat
dukungan mayoritas. Nah, siapa yang sudah keblinger, apakah
pemimpinnya, ataukah rakyatnya, atau mungkin pemikiran saya pribadi ini
yang tak paham realitas obyektif. Kenyataan betapa sulit menilai suatu
ralitas obyektif, apalagi di negeri ini banyak sekali terjadi manipulasi
data-data sejarah dan gemar mempoles kosmetik sebagai pemanis kulit
sebagai penutup kebusukan.
“Dosa” Anak Kepada Ibu (Pertiwi)
Leluhur
bumi nusantara bagaikan seorang ibu yang telah berjasa terlampau besar
kepada anak-anaknya. Sekalipun dikalkulasi secara materi tetap terasa
kita tak akan mampu melunasi “hutang” budi-baik orang tua kita dengan
cara apapun. Orang tua kita telah mengandung, melahirkan, merawat,
membesarkan kita hari demi hari hingga dewasa. Sedangkan kita tak pernah
bisa melakukan hal yang sama kepada orang tua kita. Demikian halnya
dengan para leluhur perintis bangsa. Bahkan kita tak pernah bisa
melakukan sebagaimana para leluhur lakukan untuk kita. Apalagi
beliau-beliau telah lebih dulu pergi meninggalkan kita menghadap Hyang
Widhi (Tuhan YME). Diakui atau tidak, banyak sekali kita berhutang jasa
kepada beliau-beliau para leluhur perintis bangsa. Sebagai
konsekuensinya atas tindakan pengingkaran dan penghianatan kepada
leluhur, sama halnya perilaku durhaka kepada ibu (pertiwi) kita sendiri yang dijamin akan mendatangkan malapetaka atau bebendu dahsyat. Itulah pentingnya kita tetap nguri-uri
atau memelihara dan melestarikan hubungan yang baik kepada leluhur yang
telah menurunkan kita khususnya, dan leluhur perintis bangsa pada
umumnya. Penghianatan generasi penerus terhadap leluhur bangsa, sama
halnya kita menabur perbuatan durhaka yang akan berakibat menuai
malapetaka untuk diri kita sendiri.
Sudah menjadi kodrat alam (baca; kodrat ilahi) sikap generasi penerus bangsa yang telah mendurhakai para leluhur perintis bumi pertiwi dapat mendatangkan azab, malapetaka besar yang menimpa seantero negeri.
Sikap yang “melacurkan” bangsa, menjual aset negara secara ilegal,
merusak lingkungan alam, lingkungan hidup, hutan, sungai, pantai. Tidak
sedikit para penanggungjawab negeri melakukan penyalahgunaan wewenangnya
dengan cara “ing ngarsa mumpung kuasa, ing madya agawe rekasa, tut wuri nyilakani”. Tatkala berkuasa menggunakan aji mumpung, sebagai kelas menengah selalu menyulitkan orang, jika menjadi rakyat gemar mencelakai. Seharusnya ing ngarsa asung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Walaupun tidak semua orang melakukan perbuatan durhaka namun
implikasinya dirasakan oleh semua orang. Sekilas tampak tidak adil,
namun ada satu peringatan penting yang perlu diketahui bahwa, hanya orang-orang yang selalu eling dan waspada yang akan selamat dari malapetaka negeri ini.
Rumus Yang Tergelar
Saya tergerak untuk membuat tulisan ini setelah beberapa kali mendapatkan pertanyaan sbb; apakah kembalinya kejayaan nusantara tergantung dengan peran leluhur ? jawabnya, TIDAK ! melainkan tergantung pada diri kita sendiri sebagai generasi penerus bangsa. Meskipun
demikian bukan berarti menganulir peran leluhur terhadap nasib bangsa
saat ini. Peran leluhur tetap besar hanya saja tidak secara langsung. Keprihatinan luar biasa leluhur nusantara di masa lampau dalam membangun bumi nusantara, telah menghasilkan sebuah “rumus” besar yang boleh dikatakan sebagai hukum atau kodrat alam.
Setelah keprihatinan dan perjuangan usai secara tuntas, “rumus” baru
segera tergelar sedemikian rupa. Rumus berlaku bagi seluruh generasi
penerus bangsa yang hidup sebagai warga negara Indonesia dan siapapun
yang mengais rejeki di tanah perdikan nusantara. Kendatipun demikian
generasi penerus memiliki dua pilihan yakni, apakah akan menjalani roda kehidupan yang sesuai dalam koridor “rumus” besar atau sebaliknya, berada di luar “rumus” tersebut. Kedua pilihan itu masing-masing memiliki konsekuensi logis. Filsafat hidup Kejawen selalu wanti-wanti ; aja duwe watak kere,
“jangan gemar menengadahkan tangan”. Sebisanya jangan sampai berwatak
ingin selalu berharap jasa (budi) baik atau pertolongan dan bantuan dari
orang lain, sebab yang seperti itu abot sanggane,
berat konsekuensi dan tanggungjawab kita di kemudian hari. Bila kita
sampai lupa diri apalagi menyia-nyiakan orang yang pernah memberi jasa
(budi) baik kepada kita, akan menjadikan sukerta dan sengkala. Artinya membuat kita sendiri celaka akibat ulah kita sendiri. Leluhur melanjutkan wanti-wantinya pada generasi penerus, agar supaya ; tansah eling sangkan paraning dumadi.
Mengingat jasa baik orang-orang yang telah menghantarkan kita hingga
meraih kesuksesan pada saat ini. Mengingat dari siapa kita dilahirkan,
bagaimana jalan kisah, siapa saja yang terlibat mendukung, menjadi
perantara, yang memberi nasehat dan saran, hingga kita merasakan
kemerdekaan dan ketenangan lahir batin di saat sekarang. Sementara itu, generasi durhaka adalah generasi yang sudah tidak eling sangkan paraning dumadi.
Tugas dan Tanggungjawab Generasi Bangsa
Sebagai
generasi penerus bangsa yang telah menanggung banyak sekali hutang jasa
dan budi baik para leluhur masa lalu, tak ada pilihan yang lebih tepat
selain harus mengikuti rumus-rumus yang telah tergelar. Sebagaimana
ditegaskan dalam serat Jangka Jaya Baya serta berbagai pralampita, kelak negeri ini akan mengalami masa kejayaan kembali yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, bilamana semua suku bangsa kembali nguri-uri kebudayaan, menghayati nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kearifan lokal (local wisdom),
masing-masing suku kembali melestarikan tradisi peninggalan para
leluhur nusantara. Khususnya bagi orang Jawa yang sudah hilang
kejawaannya (kajawan) dan berlagak sok asing, bersedia kembali menghayati nilai luhur kearifan lokal.
Demikian pula suku Melayu, Dayak, Papua, Minang, Makasar, Sunda,
Betawi, Madura, Tana Toraja, Dayak dst, kembali menghayati tradisi dan
budaya lokal yang kaya akan nilai-nilai luhur. Bagaimanapun kearifan
lokal memiliki kunggulan yakni lebih menyatu dan menjiwai (manjing ajur ajer) serta lebih mengenal secara cermat karakter alam dan masyarakat setempat. Desa mawa cara, negara mawa tata.
Masing-masing wilayah atau daerah memiliki aturan hidup dengan
menyesuaikan situasi dan kondisi alamnya. Tradisi dan budaya setempat
adalah “bahasa” tak tertulis sebagai buah karya karsa, cipta, dan karsa
manusia dalam berinteraksi dengan alam semesta. Orang yang hidup di
wilayah subur makmur akan memiliki karakter yang lembut, santun,
toleran, cinta damai namun agak pemalas. Sebaliknya orang terbiasa hidup
di daerah gersang, sangat panas, sulit pangan, akan memiliki karakter
watak yang keras, temperamental, terbiasa konflik dan tidak mudah
toleran. Indonesia secara keseluruhan dinilai oleh manca sebagai
masyarakat yang berkarakter toleran, penyabar, ramah, bersikap terbuka.
Namun apa jadinya jika serbuan budaya asing bertubi-tubi menyerbu
nusantara dengan penuh keangkuhan (tinggi hati) merasa paling baik dan benar sedunia.
Apalagi budaya yang dikemas dalam moralitas agama, atau sebaliknya
moralitas agama yang mengkristal menjadi kebiasaan dan tradisi. Akibat
terjadinya imperialisme budaya asing, generasi bangsa ini sering keliru
dalam mengenali siapa jati dirinya. Menjadi bangsa yang kehilangan arah,
dengan “falsafah hidup” yang tumpang-tindih dan simpang-siur menjadikan
doktrin agama berbenturan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang lebih
membumi. Ditambah berbagai pelecehan konstitusi oleh
pemegang tampuk kekuasaan semakin membuat keadaan carut-marut dan
membingungkan. Tidak sekedar mengalami kehancuran ekonomi, lebih dari
itu bangsa sedang menuju di ambang kehancuran moral, identitas budaya,
dan spiritual. Kini, saatnya generasi penerus bangsa kembali mencari identitas jati dirinya, sebelum malapetaka datang semakin besar. Mulai sekarang juga, mari kita semua berhenti menjadi generasi durhaka
kepada “orang tua” (leluhur perintis bangsa). Kembali ke pangkuan ibu
pertiwi, niscaya anugrah kemuliaan dan kejayaan bumi nusantara akan
segera datang kembali.
TRAH MAJAPAHIT
Dalam pola hubungan kekerabatan atau silsilah di dalam Kraton di Jawa di kenal istilah trah. Menurut arti harfiahnya trah adalah garis keturunan atau diistilahkan tepas darah dalem atau kusuma trahing narendra, yakni orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan atau keluarga besar secara genealogis dalam hubungan tali darah (tedhaking andana warih). Banyak sekali orang merasa bangga menjadi anggota suatu trah tertentu namun kebingungan saat menceritakan runtutan silsilah atau trah
leluhur yang mana yang menurunkannya. Seyogyanya kita masih bisa
menyebut dari mana asal-usul mata rantai leluhur yang menurunkan agar
supaya dapat memberikan pengabdian kepada leluhur secara tepat. Dengan
demikian rasa memiliki dan menghormati leluhurnya tidak dilakukan dengan
asal-asalan tanpa mengetahui siapa persisnya nenek-moyang yang telah
menurunkan kita, dan kepada leluhur yang mana harus menghaturkan sembah
bakti. Jika kita terputus mengetahui mata rantai tersebut sama halnya
dengan mengakui atau meyakini saja sebagai keturunan Adam, namun alur
mata rantainya tidak mungkin diuraikan lagi. Mengetahui tedhaking andana warih membuat kita lebih tepat munjuk sembah pangabekti atau menghaturkan rasa berbakti dan memuliakan leluhur kita sendiri. Jangan sampai seperti generasi durhaka yakni orang-orang kajawan rib-iriban
yang tidak memahami hakekat, kekenyangan “makan kulit”, menjunjung
setinggi langit leluhur bangsa asing sekalipun harus mengeluarkan beaya
puluhan bahkan ratusan juta rupiah tapi tidak mengerti makna
sesungguhnya. Sungguh ironis, sementara leluhurnya sendiri terlupakan
dan makamnya dibiarkan merana hanya karena takut dituduh musrik atau
khurafat. Cerita ironis dan menyedihkan itu seketika raib tatkala sadar
telah mendapatkan label sebagai “orang suci” dan saleh hanya karena
sudah meluhurkan leluhur bangsa asing. Ya, itulah kebiasaan sebagian
masyarakat yang suka menilai simbol-simbolnya saja, bukan memahami
esensinya. Apakah seperti itu cara kita berterimakasih kepada leluhur
yang menurunkan kita sendiri, dan kepada leluhur perintis bangsa?
Rupanya mata hati telah tertutup rapat, tiada lagi menyadari bahwa
teramat besar jasa para leluhur bangsa kita. Tanpa beliau-beliau
pendahulu kita semua yang telah menumpahkan segala perjuangannya demi
kehidupan dan kemuliaan anak turun yang mengisi generasi penerus bangsa
rasanya kita tak kan pernah hidup saat ini.
Tolok ukur kejayaan nusantara masa lalu adalah kejayaan kerajaan Pajajaran, Sriwijaya dan Majapahit, terutama yang terakhir. Trah
atau garis keturunan kerajaan Majapahit yang masih eksis hingga
sekarang, yakni kerajaan Mataram Panembahan Senopati di Kotagede
Yogyakarta, Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran di kota Solo, generasi
Mangkubumen yakni Kasultanan dan Pakualaman di Yogyakarta. Semuanya
adalah generasi penerus Majapahit terutama raja terakhir Prabu Brawijaya
V. Berikut ini silsilah yang saya ambil secara garis besarnya saja ;
Prabu Brawijaya V mempunyai 3 putra di antaranya adalah :
1. Ratu Pembayun (Lajer Putri)
2. Raden Bondhan Kejawan / Lembupeteng Tarub (Lajer Putra)
3. Raden Patah / Jin Bun / Sultan Buntoro Demak I (Lajer Putra; tetapi ibu kandung dari bangsa asing yakni; Putri Cempo dari Kamboja ; beragama Islam)
Trah Ratu Pembayun menurunkan 2 Putra :
1. Ki Ageng Kebo Kanigoro
2. Ki Ageng Kebo Kenongo/Ki Ageng Pengging
Ki Ageng Kebo Kenongo menurunkan 1 Putra: (Lajer Putri)
1. Mas Karebet / Joko Tingkir / Sultan Hadiwijoyo/ Sultan Pajang I (Lajer Putri)
Sementara itu Raden Patah / Jin Bun / Sultan Buntoro Demak I, menurunkan 2 Putera yakni :
(1) Pangeran Hadipati Pati Unus / Sultan Demak II
(2) Pangeran Hadipati Trenggono / Sultan Demak III
Keduanya penerus Demak – tetapi akhirnya putus alias demak runtuh karena pemimpinnya tidak kuat.
Kerajaan
Demak hanya berlangsung selama 3 periode. Entah ada kaitannya atau
tidak namun kejadiannya sebagaimana dahulu pernah diisaratkan oleh Prabu
Brawijaya V saat menjelang puput yuswa. Prabu Brawijaya V
merasa putranda Raden Patah menjadi anak yang berani melawan orang tua
sendiri, Sang Prabu Brawijaya V (Kertabhumi), apapun alasannya. Maka
Prabu Brawijaya V bersumpah bila pemerintahan Kerajaan Demak hanya akan berlangsung selama 3 dinasti saja
(Raden Patah, Adipati Unus, Sultan Trenggono). Setelah itu kekuasaa
Kerajaan Demak Bintoro akan redup dengan sendirinya. Hal senada
disampaikan pula oleh Nyai Ampel Gading kepada cucunda Raden Patah, setiap anak yang durhaka kepada orang tuanya pasti akan mendapat bebendu dari Hyang Mahawisesa.
Dikatakan oleh Nyai Ampel Gading, bahwa Baginda Brawijaya V telah
memberikan 3 macam anugrah kepada Raden Patah yakni; 1) daerah kekuasaan
yang luas, 2) diberikan Tahta Kerajaan, 3) dan dipersilahkan
menyebarkan agama baru yakni agama sang ibundanya (Putri Cempa) dengan
leluasa. Namun Raden Patah tetap menginginkan tahta Majapahit, sehingga
berani melawan orang tuanya sendiri. Sementara ayahandanya merasa serba
salah, bila dilawan ia juga putera sendiri dan pasti kalah, jika tidak
dilawan akan menghancurkan Majapahit dan membunuh orang-orang yang tidak
mau mengikuti kehendak Raden Patah. Akhirnya Brawijaya V memilih
mengirimkan sekitar 3000 pasukan saja agar tidak mencelakai putranda
Raden Patah. Sementara pemberontakan Raden Patah ke Kerajaan Majapahit
membawa bala tentara sekitar 30 ribu orang, dihadang pasukan Brawijaya V
yang hanya mengirimkan 3000 orang. Akibat jumlah prajurit tidak
seimbang maka terjadi banjir darah dan korban berjatuhan di pihak
Majapahit. Sejak itulah pustaka-pustaka Jawa dibumihanguskan, sementara
itu orang-orang yang membangkang dibunuh dan rumahnya dibakar.
Sebaliknya yang memilih mengikuti kehendak Raden Patah dibebaskan dari
upeti atau pajak. Senada dengan Syeh Siti Jenar yang enggan mendukung
pemberontakan Raden Patah ke Majapahit, adalah Kanjeng Sunan Kalijaga
yang sempat memberikan nasehat kepada Raden Patah, agar tidak melakukan
pemberontakan karena dengan memohon saja kepada ayahandanya untuk
menyerahkan tahta, pasti permintaan Raden Patah akan dikabulkannya.
Hingga akhirnya nasehat tak dihiraukan Raden patah, dan terjadilah
perang besar yang membawa banyak korban. Hal ini sangat disesali oleh
Kanjeng Sunan Kalijaga, hingga akhirnya memutuskan untuk berpakaian
serba berwarna wulung atau hitam sebagai pertanda kesedihan dan
penyesalan atas peristiwa tersebut.
Penerus Majapahit
Lain
halnya nasib Raden Bondan Kejawan yang dahulu sebelum Sri Narpati Prabu
Brawijaya V meninggal ia masih kecil dititipkan kepada putranda Betara
Katong, dikatakan jika Betara katong harus menjaga keselamatan Raden
Bondan Kejawan karena ialah yang akan menjadi penerus kerajaan Majapahit
di kelak kemudian hari. Berikut ini alur silsilah Raden Bondan Kejawan
hingga regenerasinya di masa Kerajaan Mataram.
Raden
Bondhan Kejawan/Lembu Peteng Tarub-Dewi Nawang Sih (Dewi Nawang Sih
adalah seorang putri dari Dewi Nawang Wulan-Jaka Tarub) (Lajer Putra)
menurunkan Putera :
1. Raden Depok / Ki Ageng Getas Pandowo (Lajer Putra)
2. Dewi Nawang Sari (Kelak adl calon ibu Ratu Adil/SP/Herucakra)
Raden Depok / Ki Ageng Getas Pandowo mempunyai 1 Putera:
Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo (Lajer Putra)
Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo mempunyai 1 Putera bernama:
Ki Ageng Anis (Ngenis) (Lajer Putra)
Ki Ageng Anis (Ngenis) mempunyai 2 Putera :
1. Ki Ageng Pemanahan / Ki Ageng Mataram
2. Ki Ageng Karotangan / Pagergunung I
tp://sabdalangit.wordpress.com
Ki Ageng Pemanahan / Mataram mempunyai 1 Putera:
Raden Danang Sutowijoyo / Panembahan Senopati/ Sultan Mataram I
Panembahan
Senopati akhirnya menjadi generasi Mataram Islam (kasultanan) pertama
yang meneruskan kekuasaan Majapahit hingga kini. Pada masa itu
spiritualitas diwarnai nilai sinkretisme antara filsafat hidup Kejawen,
Hindu, Budha dan nilai-nilai Islam hakekat sebagaimana terkandung dalam
ajaran Syeh Siti Jenar, terutama mazabnya Ibnu Al Hallaj. Pada saat itu,
hubungan kedua jalur spiritual masih terasa begitu romantis saling
melengkapi dan belum diwarnai intrik-intrik politik yang membuyarkan
sebagaimana terjadi sekarang ini.
Begitulah
silsilah lajer putra dari Brawijaya V. Menurut tradisi Jawa wahyu
keprabon akan turun kepada anak laki-laki atau lajer putra. Sedangkan
Raden patah walaupun lajer putra tetapi dari Putri bangsa asing. Dan
Raden Patah dianggap anak durhaka oleh ayahandanya Prabu Brawijaya
Kertabhumi dan neneknya Nyai Ampel Gading. Namun demikian, bagi
penasehat spiritualnya yakni Ki Sabdapalon dan Nayagenggong yang begitu
legendaris kisahnya, pun Prabu Brawijaya walaupun secara terpaksa atau
tidak sengaja telah menghianati para pendahulunya pula.
Dari
pemaparan kisah di atas ada suatu pelajaran berharga untuk generasi
penerus agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Artinya jangan sampai
kita berani melawan orang tua, apalgi sampai terjadi pertumpahan darah.
Karena dapat tergelincir pada perberbuatan durhaka kepada orang tua kita
terutama pada seorang ibu, yakni ibu pertiwi. Dengan kata lain durhaka
kepada para leluhur yang telah merintis bangsa dengan susah payah.
Karena Tuhan pasti akan memberikan hukuman yang setimpal, dan siapapun
tak ada yang bisa luput dari bebendu Tuhan.
Pralampita Leluhur Bangsa
Saya
ingin mengambil beberapa bait dari serat Darmagandul yang unik dan
menarik untuk dianalisa, sekalipun kontroversial namun paling tidak ada
beberapa nasehat dan warning yang mungkin dapat menjadi pepeling
bagi kita semua, khususnya bagi yang percaya. Bagi yang tidak
mempercayai, hal itu tidak menjadi masalah karena masing-masing memiliki
hak untuk menentukan sikap dan mencari jalan hidup secara cermat, tepat
dan sesuai dengan pribadi masing-masing.
Paduka yêktos, manawi sampun santun gami selam,
nilar gamabudi, turun paduka tamtu apês,
Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa sanes.
Benjing tamtu dipun prentah dening tiyang Jawi ingkang mangrêti.
Paduka pahami, bila sudah memeluk gama selam, meninggalkan gamabudi,
Keturunan Paduka pasti mendapatkan sial, Jawa tinggal seolah-olah jawa,
nilai ke-Jawa-annya telah hilang, gemar nebeng bangsa lain
Besok tentu diperintah oleh orang Jawa yang memahami (Kejawa-an)
Cobi paduka-yêktosi, benjing: sasi murub botên tanggal,
wiji bungkêr botên thukul, dipun tampik dening Dewa,
tinanêma thukul mriyi, namung kangge têdha pêksi,
mriyi punika pantun kados kêtos,
amargi Paduka ingkang lêpat, rêmên nêmbah sela
Cobalah Paduka pahami, besok; sasi murub boten tanggal
Biji-bijian tidak tumbuh, ditolak oleh Tuhan
Walaupun ditanam yang tumbuh berupa padi jelek
Hanya jadi makanan burung
Karena Paduka lah yang bersalah, suka menyembah batu
Paduka-yêktosi, benjing tanah Jawa ewah hawanipun,
wêwah bênter awis jawah, suda asilipun siti,
kathah tiyang rêmên dora,
kêndêl tindak nistha tuwin rêmên supata,
jawah salah mangsa, damêl bingungipun kanca tani.
Paduka pahami, kelak tanah Jawa berubah hawanya,
Berubah menjadi panas dan jarang hujan, berkurang hasil bumi
Banyak orang suka berbuat angkara
Berani berbuat nista dan gemar bertengkar,
Hujan salah musim, membuat bingung para petani
Wiwit dintên punika jawahipun sampun suda,
amargi kukuminipun manusa anggenipun sami gantos agami.
Benjing yen sampun mrêtobat, sami engêt dhatêng gamabudi malih,
lan sami purun nêdha woh kawruh, Dewa lajêng paring pangapura,
sagêd wangsul kados jaman Budhi jawahipun”.
Mulai hari ini hujan sudah mulai berkurang,
Sebagai hukumannya manusia karena telah berganti agama
Besok bila sudah bertobat, orang-orang baru ingat kepada gamabudi lagi
Dan bersedia makan buahnya ilmu, maka Tuhan akan memberi ampunan
Kesuburan tanah dapat kembali seperti zaman gamabudi
Memahami Leluhur dan Kemusyrikan
Belajar
dari pengalaman pribadi dan sebagaimana terdapat dalam tradisi Jawa,
saya pribadi percaya bahwa leluhur masih dapat memberikan bimbingan dan
arahan (njangkung dan njampangi) memberikan doa dan
restu kepada anak turunnya. Komunikasi dapat berlangsung melalui
berbagai media, ambil contoh misalnya melalui mimpi (puspa tajem), melalui keketeg ing angga,
suara hati nurani, bisikan gaib, atau dapat berkomunikasi langsung
dengan para leluhur. Barangkali di antara pembaca ada yang menganggap
hal ini sebagai bualan kosong saja, bahkan menganggap bisikan gaib
dipastikan dari suara setan yang akan menggoda iman. Boleh dan sah-sah
saja ada pendapat seperti itu. Hanya saja tidak perlu ngotot mempertahankan tingkat pemahaman sendiri. Sebab jika belum pernah menyaksikan sendiri noumena atau eksistensi di alam gaib sebagai being yang
ada, kesadaran kita masih dikuasai oleh kesadaran akal-budi,
kesadarannya hanyalah dalam batas kesadaran jasad/lahiriah semata.
Sebaliknya kesadaran batinnya justru menjadi mampet tak bisa berkembang.
Padahal untuk memahami tentang kesejatian hidup diperlukan sarana
kesadaran batiniah atau rohani.
Bagi
pemahaman saya pribadi, adalah sangat tidak relevan suatu anggapan
bahwa interaksi dengan leluhur itu dianggap musyrik. Apalagi dianggap non-sense,
bagi saya anggapan itu merupakan kemunduran dalam kesadaran batin
sekalipun jika di banding zaman animisme dan dinamisme. Menurut
pemahaman saya musyrik adalah persoalan dalam hati dan cara berfikir,
bukan dalam manifestasi tindakan. Saya tetap percaya bahwa tanpa adanya
kuasa dan kehendak Tuhan apalah artinya leluhur. Leluhur sekedar sebagai
perantara. Seperti halnya anda mendapatkan rejeki melalui perantara
perusahaan tempat anda bekerja. Jika Anda menuhankan perusahaan tempat
anda bekerja sama halnya berfikir musrik. Dan orang dungu sekalipun tak
akan pernah menuhankan leluhur karena leluhur itu roh (manusia) yang
jasadnya telah lebur kembali menjadi tanah. Hubungan dengan leluhur
seperti halnya hubungan dengan orang tua, saudara, tetangga, atau
kakek-nenek yang masih hidup yang sering kita mintai tolong.
Perbedaannya hanyalah sekedar yang satu masih memiliki jasad kotor,
sedangkan leluhur sudah meninggalkan jasad kotornya. Bila kita mohon doa
restu pada orang hidup yang masih dibungkus jasad kotor mengapa tak
dituduh musrik, sedangkan kepada leluhur dianggap musrik. Padahal untuk
menjadi musrik itu pun sangat mudah, anda tinggal berfikir saja jika
seorang dokter dengan resep obat yang anda minum adalah mutlak menjadi
penyembuh penyakit di luar kuasa Tuhan. Atau anda meminta tolong kepada
tetangga untuk mbetulin genting bocor, dan orang itu dapat
bekerja sendiri tanpa kuasa Tuhan. Saya fikir konsep musyrik adalah cara
berfikir orang-orang yang hidup di zaman jahiliah saja. Atau mungkin
manusia purba jutaan tahun lalu. Namun apapun alasannya tuduhan musrik
menurut saya, merupakan tindakan penjahiliahan manusia.
Kendatipun
demikian, jika tidak ada jalinan komunikasi dengan leluhur, para
leluhur tak akan mencampuri urusan duniawi anak turunnya. Oleh sebab itu
dalam tradisi Jawa begitu kental upaya-upaya menjalin hubungan dengan
para leluhurnya sendiri. Misalnya dilakukan ziarah, nyekar, mendoakan,
merawat makam, selamatan, kenduri, melestarikan warisan, dan menghayati
segenap ajaran-ajarannya yang mengandung nilai luhur filsafat kehidupan.
Sumber: sabdalangit
0 komentar:
Post a Comment